My Diary.
to share my ups-and-downs events

Menerjang Badai di Puncak Gunung Merbabu


“Waspada! Jaga jarak dalam melangkah! Saling mengawasi agar tidak ada yang celaka!” teriak seorang pendaki, sambil menuruni puncak Kenteng Songo di Taman Nasional Gunung Merbabu.

Di Gunung Merbabu, hujan deras tumpah dari langit. Mengguyur tubuh yang sudah basah dan menggigil. Angin bertiup kencang. Menggoyang daun-daun dan ranting pohon. Aliran air membuat tanah berlumpur. Jejak kaki hilang tersapu genangan.

Setelah menuruni lereng dan bukit, jalur perjalanan terbelah. Di sebelah kiri, trek berupa turunan terjal dengan tebing berselimut kabut pekat. Di kanan, jalur melebar dan memanjang seperti tak berujung. 

“Kita ke mana?” tanya saya pada Ricky, teman seperjalanan.

Ricky memanjat bebatuan. Memandang jalur di sebelah kiri yang berbahaya. “Kita tidak mungkin lewat sini. Terlalu riskan,” katanya.

“Kalau sebelah kanan bagaimana?” tanya saya, gusar dan tak sabar.

“Saya tidak yakin. Itu sepertinya bukan jalur yang kita lalui saat mendaki tadi,” jawab Ricky.

Perasaan campur aduk tak karuan. Pikiran mulai membentur-bentur segala kemungkinan. Sepatu basah. Sarung tangan basah. Air hujan menetes-netes dari jas plastik berwarna merah. “Bagaimana kalau kita tunggu rombongan lain yang juga turun?” ujar Ricky.

Setelah menunggu beberapa saat, sambil menahan dingin kantuk, kami bertemu rombongan lain yang bergerak menuruni bukit. 

“Ada yang tahu jalan menuju Sabana Dua?”

“Lurus saja! Sebelah kiri terlalu terjal, akan sulit dilewati,” jawab salah satu pendaki. “Waspada! Jaga jarak dalam melangkah! Saling mengawasi agar tak ada yang celaka!” ujarnya lagi.

Saya memandang teman-teman seperjalanan: Ricky, Rhesa, Eva, dan Ivan. Di puncak gunung, kami satu jiwa dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan.

Begitu sampai di Sabana Dua, saya segera masuk ke dalam tenda. Melindungi tubuh dari badai. Segera mengganti sarung tangan dan kaos kaki, lalu menenggelamkan diri di dalam sleeping bag. Sesaat menutup mata, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan tubuh dan pikiran yang terkuras di dalam perjalanan.

Sekitar dua jam kemudian, aroma sosis goreng membangunkan tubuh yang kelelahan. Hujan sudah reda. Menyisakan angin yang bertiup nyaris merubuhkan tenda. “Ayo, sarapan…” kata Ricky.

Bagai kawanan domba, berkumpul di bawah terpal untuk melahap roti gandum, sosis goreng, chicken nugget, dan sarden. Keterbatasan air membuat kawanan domba yang kelaparan ini tidak dapat menanak nasi atau merebus mi instan. Namun, pada saat kepepet, kreativitas mengolah makanan tidak terbatas. Roti dengan selai sarden menjadi pilihan. 

“Nikmat,” kata Ivan, sambal melahap makanan.

_




Perjalanan mendaki puncak Gunung Merbabu berawal tepat di hari Natal. Perjalanan selama tiga hari dua malam ini merupakan perayaan menyambut pergantian tahun baru. Perayaan tanpa hiruk pikuk keramaian kota. Tanpa kilatan cahaya dan kebisingan kendaraan di jalan raya. Perayaan menyusuri pekatnya malam dan keindahan alam.

Bagi saya, perjalanan menyusuri Gunung Merbabu sebenarnya bukan pertama kali. Empat tahun lalu, bersama mas mantan, saya pernah mendaki Gunung Merbabu melalui jalur Wekas, Magelang. Kali ini, saya menempuh petualangan melewati jalur Selo, Boyolali. Selain dua jalur ini, ada pula perjalanan melalui Kopeng dan Suwanting.

Jalur Wekas terkenal pendek dan memiliki banyak sumber air. Perjalanan dari basecamp menuju Pos Satu akan melewati rumah-rumah dan ladang penduduk. Dari Pos Satu menuju Pos Dua menyusuri hutan. Di Pos Dua ada lahan datar yang biasa dipakai untuk berkemah. 

Setelah itu, tanah menanjak dan berkelok-kelok menanti. Sensasi melipir tebing yang memacu detak jantung memberi tantanganSayangnya, sebelum sampai puncak, perjalanan berakhir. “Sudah terlalu sore, waktunya tidak akan cukup mencapai puncak,” hanya kalimat itu yang terucap dari si dia di masa lalu (Bwahahhaha :p).

Rasa penasaran mencapai puncak Gunung Merbabu rupanya masih tersisa di relung hati. Seperti menoleh ke masa lalu, perjalanan, meskipun dilakukan di tempat yang sama, selalu menawarkan sudut pandang berbeda.



Bersama The Squad, kali ini, perjalanan bermula dari jalur Selo. Berbeda dengan Wekas, perjalanan dari jalur Selo terkenal lebih mudah karena treknya panjang dan relatif lebih landai. Tantangannya, di jalur Selo tidak ada sumber air. Pendaki harus membawa ekstra air untuk bertahan hidup.

Berjalan dari basecamp, saya melewati arena perkemahan yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Perjalanan banyak melintasi bonus (sebutan jalur landai) di arena hutan. Selepas Pos Satu, jalur mulai menanjak dan berkelok-kelok. Bersama rombongan, saya berkemah di Pos Dua. Saat mendirikan tenda, gerimis turun membasahi rerumputan.

Keesokan harinya, perjalanan berlanjut melewati Tikungan Macan dan Pos Tiga (Batu Tulis). Arena ini terbuka dan berdebu. Sejumlah pendaki beristirahat sambil memandang keindahan Gunung Merapi yang berdiri gagah berhadap-hadapan dengan Gunung Merbabu. Di sebelah kiri dan kanan, bukit dan lereng pegunungan berwarna kehijauan. Langit berwarna biru terang dengan gerombolan awan putih bergerak pelan. Saat cuaca cerah, Gunung Sumbing, Sindoro, dan Slamet juga terlihat.  

Banyak yang bilang, tidak perlu mencapai pancake Gunung Merbabu untuk menikmati alam. Keindahan tidak selalu ditawarkan di puncak tujuan, tetapi ada dalam setiap kesulitan dan langkah-langkah perjalanan. 

Setelah Pos Tiga, jalur menyempit dan berbatu menuju Sabana Satu. Trek semakin menantang memasuki Sabana Dua. Di tempat ini, hamparan rumput yang luas menjadi tempat para pendaki berleyeh-leyeh menikmati sore.

Begitu sampai tiba di sana, matahari mulai bergerak turun. Sejumlah pendaki mendirikan tenda sebelum hari bertambah gelap.

Di bawah temaram lampu tenda, kawanan domba berkumpul. Masing-masing menggenggam segelas minuman hangat. Kopi. Cokelat. Jahe.  “Bagaimana kalau besok hujan, apakah kita jadi ke puncak?”

“Kalau hujan, lebih baik kita berteduh dulu di tenda karena tidak mungkin melihat matahari terbit. Kalau cuaca cerah, kita bergerak. Tidak masalah apabila terlambat melihat sunrise di puncak, karena di perjalanan kita tetap bisa menikmati Sang Surya,” tutur Ricky.

Pukul 22.00, saya membenamkan diri dalam selimut tidur. Menutup kelopak mata. Dan membisikkan doa agar esok langit cerah.

Setelah beberapa jam terlelap, Ricky keluar tenda. “Bangun, bangun. Di luar bintang-bintang bercahaya,” katanya.

Ivan, Eva, Rhesa, dan saya segera mengeluarkan kepala dari dalam tenda. Memandang langit hitam dengan butiran kemilau bintang.

Pukul 03.30, rombongan mulai merambat bergerak menuju puncak. Tanjakan yang terjal dan curam dilalui selangkah demi selangkah. 



Mendekati puncak, kabut bergerak meniupkan udara dingin. Gerimis mulai turun, membasahi jaket dan celana. Semakin lama, hujan semakin deras. Angin bertiup kencang. Badai mulai mengamuk. Jalan kian licin dan terjal. "Kita tertipu langit cerah. Ternyata, malah hujan," kata seorang pendaki.

Di puncak Kentheng Songo (3.142 mdpl), yang terlihat hanya langit putih. Tanaman tertutup kabut. Tanah berlumpur. Angin menggerakkan dedaunan. Kawanan pendaki bersembunyi di balik batu atau pohon. Melindungi tubuh dari badai yang mengamuk. Matahari terbit, yang dinantikan, tertutup awan. 

Beberapa orang kecewa, cita-cita menatap Sang Surya di balik jendela puncak Gunung Merbabu tak terlaksana. Sebagian lainnya, cukup bersyukur dapat selamat dari badai yang mengamuk.

Memiliki tujuan dalam perjalanan memang perlu. Tetapi, keindahan tidak ada di puncak. Keindahan ditemui dalam setiap langkah perjalanan mengatasi tantangan dan segala kesulitan.







Jakarta, 30 Desember 2016
Catt: foto paling atas dimuat harian Kompas (29/12)


rambutkriwil rambutkriwil Author

Pelajaran Berarti di Bukit Penyesalan, Rinjani

“Lo boleh nggak percaya sama gue di kehidupan nyata, tapi please…. Kalau lagi di gunung, lo percaya sama gue,” – Rio Praditia, Juli 2016.

Pertengahan tahun lalu, sahabat saya Rio Praditia mengajak naik Gunung Rinjani. “Ini untuk memurnikan makna persahabatan kita,” kata Rio.

Rio Praditia adalah sahabat saya sejak kami kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Meski kami berbeda jurusan, Rio dan saya sama-sama suka traveling dan hobi ngeblog. Saat mahasiswa lain menghabiskan waktu dengan nongkrong di kantin, bikin event-event diskusi ilmiah atau pementasan musik, Rio mengajak saya duduk di perpustakaan sambil membolak-balik majalah National Geographic.

Kami membahas cerita-cerita seru para pejalan idola, membahas foto-foto keren yang terpajang di majalah National Geographic, serta mengkhayalkan perjalan-perjalanan menantang. 

Kecintaan pada dunia traveling, membuat Rio menerbitkan majalah traveling elektronik, Backpackidea. Dia mengajak saya terlibat sebagai text and photo editor, Andri sebagai IT supporting staff, dan Rembrandt sebagai ahli grafis. Kami berempat, jelek-jelek begini boleh sombong karena punya majalah keren bernama Backpackidea :P

Melalui Backpackidea, kami memperkenalkan konsep traveling bertanggung jawab (responsible traveler) yang tak hanya memperkaya pengalaman pelakunya, melainkan membawa cerita dan manfaat bagi orang lain. Sudah sepuluh edisi Backpackidea terbit, sudah ratusan foto dan cerita perjalan muncul di majalah, sudah puluhuan kontributor dan sponsor terlibat untuk mendukung penerbitan Backpackidea, ada sesuatu yang mengganjal di hati: Rio dan saya belum pernah sekali pun traveling bareng!

“Ayolah, ini saatnya! Teman yang cocok di dunia nyata, belum tentu cocok saat mendaki gunung. Perjalanan ini akan memurnikan persahabatan kita… Berkat perjalanan ini persahabatan kita bisa makin lekat, atau justru permusuhan akan menjerat,” kata Rio.

Kata-kata Rio membuat saya merenung. Meskipun kami punya hobi yang sama, doyan makan makanan yang sama, membaca buku atau mendengarkan musik senada, tidak berarti kami kami akan cocok ketika mendaki gunung bersama. Perjalanan mendaki gunung yang dilakukan dengan segala ups and downs-nya, akan membuat kami mengenal satu sama lain dengan baik.

Ajakan Rio membuat saya membayangkan betapa asyiknya mendaki gunung bersama! Kami akan mendaki gunung sambil menyanyikan lagu Ke Antah Berantah-nya Banda Neira, menikmati coklat panas sambil memandang matahari terbit, atau terlelap dengan belaian angin pegunungan yang sejuk.

Kalimat, “Perjalanan ini akan memurnikan persahabatan kita…” terngiang-ngiang di kepala.

“Gimana?” desak Rio.

“Baiklah, gue ikut,” jawab saya.



Persiapan untuk mendaki Gunung Rinjani saya lakukan hanya dalam waktu enam hari. Kata Rio, rombongan kami yang terdiri dari enam orang akan menyewa tiga porter. Saya bisa menitipkan carrier ke porter sehingga beban berkurang saat mendaki gunung.

Brief singkat dari Rio membuat saya kegirangan dan menyiapkan pendakian, SEMAKSIMAL MUNGKIN. (*capslock jebol :D)  Kalau biasanya setiap naik gunung saya bawa barang minim supaya tidak menjadi beban, kali ini saya membawa barang lengkap… Boleeh dongg, sekali-kali naik gunung enggak sengsara-sengsara banget karena kebutuhan hidup nyaman tersedia di carrier.

Baju ganti, misalnya, biasanya cuma bawa sepasang atasan dan bawahan, kali ini saya membawa tiga pasang baju, terdiri dari baju tidur, baju ganti, dan baju gaya (untuk foto-foto di puncak, hahaaha).

Saya juga membawa matras, sleeping bag, toiletries yang super lengkap (mulai dari tabir surya, krim pagi, krim malam, krim wajah dengan vitamin C supaya muka enggak gosong, lipbalm, hingga body lotion,… bener-bener kayak mau ngelenong!). Selain itu, saya membawa buku (untuk bahan bacaan di pesawat dan properti foto), sandal gunung, sleeping bag, serta tissue basah plus tissue kering. Saya juga membawa kamera, lengkap dengan charger dan ekstra baterai!

Karena sepatu Adidas trekking saya sudah jebol, saya membeli sepatu hiking Hi-Tec model terbaru! (Sekalian pamer :P). Untuk menampung barang bawaan yang super banyak, saya juga membeli carrier baru Deuteur 55+10 liter (biasanya saya traveling dengan Deuteur 35 Liter). Barang-barang bawaan sudah lengkaaap, mantabss! Tariiikkk maaanggg!!!


Waktu itu Rio pernah bilang, “Lo gak usah beli tas baru yang bikin barang bawaan lo jadi banyak dan berat. Lo bawa barang-barang yang kecil dan ringan saja.” Tetapi, dasar nekat, saya mengabaikan peringatan Rio! Dalam benak saya muncul kepercayaan diri tingkat tinggi, “Ahh,… nanti juga ada porter! Bisa titip porter!”

Begitu sampai di kaki Gunung Rinjani, ternyata kami hanya dapat dua porter (bukannya tiga seperti rencana awal!) “Teman-teman, porter akan membawa tenda dan logistik perjalanan. Sementara tas pendaki, dibawa sendiri-sendiri ya!” kata Rio. Mampuuuussss…. Gimana barang bawaan gua…. Muka saya langsung pucet. Percayalah…. selain bayang-bayang masa lalu, barang-barang bawaan juga bisa membebani hidup!

“Rio, barang bawaan gue gimana?” tanya saya.

“Apa gue bilang! Bawa barang yang ringan saja!” kata Rio, ketus. Waaahhh… Belum naik gunung, saya sudah musuhan nih sama si Rio! Kata saya dalam hati. Meski sambil mencak-mencak, Rio bersedia bawa sebagian (besar) barang saya!

-

Kami mendaki gunung sekitar pukul 08.00. Awal perjalanan kami melewati padang yang kering dan berdebu. Matahari bersinar terik, membakar kulit wajah. Beberapa kali berhenti untuk berfoto atau menegak air mineral. Sekitar pukul 12.00, kami berhenti di Pos Satu untuk makan siang. Setelah itu, rombongan kembali bergerak menuju Pos Dua untuk isi air minum dan berkemah. Sepanjang perjalanan, Rio menyindir barang-barang bawaan saya dengan berkata, "Seandainya tas gue enggak bertambah berat dengan titipan orang lain, gue bisa jalan cepat nih!" Hmm. Saya pura-pura enggak dengar.

Keesokan harinya, kami mendaki menuju Pos Tiga Sembalun. Perjalanan melewati bukit penyesalan yang terkenal berat dan menantang! Jalanan yang dilewati berkelok-kelok, berbatu, berdebu, kering kerontang! Begitu mencapai puncak bukit, awan tersingkap… bukit selanjutnya yang lebih tinggi dan menantang menanti! Begitu seterusnya, hingga tujuh bukit terlewati. Di tempat ini, konon, banyak pendaki merasa nyesel sudah naik gunung!

Saya berjalan kepayahan. Di dekat pohon besar, saya berhenti dan bersandar pada dahan. Menyeka keringat di dahi, lalu berbalik badan untuk melihat seberapa jauh trek yang sudah dilalui. Saat menoleh, terlihat gumpalan awan mengelilingi tebing dan lereng pegunungan. Letaknya di jauh bawah posisi saya berdiri. Sungguh magis! Saya merasa sedang menari-nari di atas awan.

Rio menghampiri. “Gue gak bisa menjanjikan lo pemandangan indah, matahari terbit, atau bintang-bintang yang bersinar terang. Gue cuma memastikan kita akan melalui jalan yang menantang, terjal, berbatu, berdebu, berkelok.... tetapi di perjalanan itu lo bisa mengenal diri lo sendiri dan memurnikan makna persahabatan,” kata Rio, sambil menepuk bahu.
 


Di negeri di atas awan, napas terasa pendek. Wajah berkeringat. Kaki pegal-pegal. Di Bukit Penyesalan, kami kehabisan energi. Lalu, muncullah ide untuk menyewa satu porter tambahan lagi untuk membawa carrier yang berat menuju Pos Sembalun. Harapannya, beban yang berkurang, bisa meringankan langkah. Kenyataannya, tidak ada porter yang bersedia mengantar barang sampai Pos Sembalun. 

“Uang hanyalah selembar kertas. Saya tidak bisa mengantar, beban terlalu berat,” kata seorang porter. Tanggapan porter itu membuat kami misuh-misuh: #$$@#%^&&a*su**&^. Terpaksa, kami mengandalkan kekuatan kaki dan bahu diri sendiri untuk berjalan menuju puncak. Di Bukit Penyesalan, saya memetik satu pelajaran berarti, dalam hidup ini tidak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri.

Menjelang sore,… Kami menginjakkan kaki di Pos Sembalun, pos terakhir menuju Puncak Rinjani. Di dalam tenda, Rio bertanya, "Gimana, masih mau bawa barang enggak penting untuk naik gunung? Lo boleh nggak percaya sama gue di kehidupan nyata, tapi please…. Kalau lagi di gunung, lo percaya sama gue!" kata Rio, yang memang punya pengalaman segudang terkait suka-duka mendaki gunung. 

Saya menjawab dalam diam. Malam terlalu dingin. Kami pun terlelap, karena esok masih panjang.

-


Hari ketiga, sebelum matahari terbit, Rio, Lingga, Tere, dan saya mendaki puncak Rinjani. Sementara Andri dan Vani berasyik-masyuk menjaga tenda. 

Dalam perjalanan, Lingga mengalami mountain sickness sehingga harus menghentikan langkah. Rio dan Tere juga memutuskan turun sebelum menginjakkan kaki di puncak. "Lo gimana, mau lanjut atau turun?" tanya Rio.

Saya menggigil kedinginan. Tangan beku. Debu menempel di wajah. Menimbang-nimbang, lebih baik naik ataukah turun. "Lo gimana, mau lanjut atau turun?" tanya Rio, sekali lagi. Dengan suara kencang membahana yang bikin saat itu saya kesel banget sama dia!  

Ya, saya sih maklum saja... Namanya di gunung, sebisa mungkin jangan melangkah dalam keraguan. Naik atau turun, sama-sama mengandung risiko. "Gue naik," kata saya.

"Oke, lo naik. Ikutin orang-orang dan porter yang juga naik. Cuma ada satu jalur, lo tidak akan tersesat. Tetapi, pastikan hati-hati dalam melangkah," kata Rio. Setelah itu, dia bergerak turun.

Langit masih gelap. Kesendirian dan kesepian mengepung. We're born alone, we live alone, we die alone. Saya berusaha tabah dan melanjutkan perjalanan. Melalui satu lagi petualangan dalam hidup. Bukan puncak gunung sebenarnya yang dicari. Kenikmatan hidup tidak ditemui di puncak, tetapi dalam kesulitan-kesulitan yang dilalui dalam perjalanan. Terjatuh, bangkit, dan berjalan, hingga ujung hari.

Pukul 07.00, saya mulai menuruni gunung. Memerlukan waktu sekitar empat jam untuk kembali ke Pos Tiga Sembalun, Saat melangkah turun, hati saya riang gembira. Rasanya ingin segera jumpa Rio dan bersorak, "Horeee... gue bisa mencapai puncak!!!" Terbayang Rio akan membuatkan segelas minuman hangat sebagai ucapan selamat. Lalu dia akan mendengarkan cerita-cerita perjalanan, sebagaimana sering kami lakukkan saat berjumpa.

Tetapi, bayangan itu runyam seketika! Begitu saya sampai di tenda, saya melihat Rio sedang molor! Enggak ada ucapan selamat, enggak ada segelas minuman hangat. "Gue nungguin lo lama banget.... makanya gue tidur!" kata Rio dengan wolesnya... -___-" 

"Dasar kampretooo, udah ninggalin gue di gunung malah tidur!!" kata saya. Rio hanya ngekek-ngekek.

Setelah berkemas, kurang lebih satu jam, kami melanjutkan perjalanan.

"Jadi gimana, apa yang lo dapatkan dari perjalanan ini?" Rio bertanya.

"Walaupun lo ninggalin gue di gunung, selama perjalanan ini gue sadar lo emang sahabat gue," kata saya.

"Kok bisa?”

"Soalnya lo udah bawain carrier gue!! Hahahaa..." kata saya, sambil tertawa terbahak-bahak.

"Sialan!" kata Rio. "Kita berteman, baik di darat maupun di udara." 

Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak sambil berbincang tetang hal-hal sederhana di hidup yang singkat ini. 





Percayalah…. selain bayang-bayang masa lalu, barang-barang bawaan juga bisa membebani hidup! Meskipun ada porter yang bisa membantu kita membawa barang bawaan saat menuju puncak, atau ada teman yang bisa meminjamkan jaket atau sendal gunung, atau teman yang bisa membagi air mineral saat kita kehausan di tengah jalan, saran saya pastikan membawa barang yang BETUL-BETUL dibutuhkan. Dalam hidup ini tidak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri...

Tips naik gunung aman dan nyaman:

1. Nggak usah gaya-gayaan mau bawa carrier besar dan berat kalau enggak kuat.

2. Dari barang-barang yang penting, bawalah yang terpenting! Tabir surya penting, krim pagi atau krim malam sama sekali enggak penting! Sortir your belongings!

3. Pakai sepatu dan pakaian yang nyaman.

4. Camilan dan kamera buat swafoto jangan lupa! (all pictures taken using Iphone 6+ hehe)

5. Enggak usah baper, konflik dengan teman itu biasa… yang penting sama-sama saling menjaga dan harus sadar, pendakian ke puncak gunung adalah perjalanan untuk kembali pulang dengan selamat.


Blora, 10 Desember 2016





rambutkriwil rambutkriwil Author

rambutkriwil

chronicle of a curly girl to live a life

Featured Post

MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM

HI YOU! NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM   NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM   SE...

Latest Posts

Instagram Post!

Followers