Menelusuri Via Dolorosa (1): Inikah Jalan Sengsara itu?
01:19
Hari itu hari Sabbath.
Ketika sebagian besar umat Yahudi beribadat di Tembok Barat (The Western Wall) atau yang lebih
dikenal dengan Tembok Ratapan, saya menelusuri Via Dolorosa, jalan sengsara
menuju Bukit Golgota.
Jalan
Salib menyusuri Via Dolorosa dimulai pukul 16.00. Perjalanan bermula di Gerbang Singa (The Lions' Gate/St
Stephen’s Gate), yang berada di dalam kompleks Muslim, hingga Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre), yang terletak di kompleks Kristen.
Di
dekat Gerbang Singa,
berdiri sebuah bangunan sederhana yang disebut Kapel Penyesahan. Di gerbang masuknya, ada plat-plat kaca yang
menggambarkan Yesus disesah (tengah), Pilatus membasuh tangan (kanan),
dan Barabbas dibebaskan (kiri). Langit-langit kapel berbentuk kubah
dengan ukiran mahkota dan duri-duri emas.
Di depan altar
Kapel Penyesahan, rombongan berlutut. Saya menutup kelopak mata sambil
menundukkan kepala. Sesaat keheningan mengepung. Bulu kuduk merinding,
membayangkan bagaimana dulu Yesus diadili dan disiksa. Di sela-sela kesunyian,
terdengar suara lirih, “Allah ampunilah
kami orang berdosa.”
--
Setelah berdoa di perhentian pertama – di Benteng Antonia –
rombongan bergerak ke stasi kedua yang letaknya
di seberang tembok Kapel Penyesahan. Di sana ada lengkungan Ecce Homo (Behold
The Man) yang dibuat Kaisar Hadrianus pada 135 Masehi untuk mengabadikan
kemenangannya atas kota Yerusalem.
Via Dolorosa merupakan jalan penderitaan yang dilalui Yesus sambil
memikul salib, lebih dari 2.000 tahun silam. Pada masanya, jalan sepanjang satu
kilometer itu berada di tembok luar kota tua Yerusalem
di Timur Tengah. Kini, Via Dolorosa berupa jalan kecil berbatu, berundak, dan
melewati keramaian pasar dan pemukiman penduduk Armenian, Kristen, Muslim, dan
Yahudi.
Saya
berjalan bersama rombongan, terdiri dari 28 perempuan dan laki-laki berusia 8
hingga 70 tahun. Sebagian orang berasal dari Jakarta, beberapa lainnya dari
Tangerang, Kalimantan Barat, dan sebuah kota di Timor Leste.
Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, menjelaskan, ziarah menelusuri Via
Dolorosa dimulai sejak masa kekristenan awal dan mencapai arti penting pada
pertengahan abad ke-4, sewaktu Kaisar Constantine menjadikan agama Kristen
sebagai agama negara. Saat itu, tidak ada stasi-stasi perhentian seperti
sekarang. Rute Jalan Salib bahkan sering berubah karena kelompok Kristen juga
menawarkan titik perhentian berbeda.
Pada
abad ke-18, Paus Klemens XII menetapkan jumlah dan lokasi perhentian Jalan
Salib secara pasti. Stasi perhentian itu dipakai hingga sekarang. Kini, ibadat Jalan Salib menjadi
bagian tak terpisahkan dari tempat-tempat ziarah katolik. Jalan Salib sangat
umum dilakukan pada Jumat Agung atau Jumat Prapaskah.
Di Via Dolorosa, Jalan Salib ditandai dengan 14 stasi perhentian. Penanda stasi berupa tulisan dan simbol
tidak mencolok yang terpahat pada dinding dan tiang. Penanda itu berada di
kiri-kanan jalan, melewati lorong-lorong pasar dan pemukiman penduduk. Di
setiap stasi ada kapel untuk berdoa. Ibadat biasanya dilakukan setiap Jumat,
dipimpin biarawan OFM.
Sebelum berangkat, ibu sempat menyampaikan
kekhawatirannya tak mampu merampungkan Jalan Salib. Sejak bertahun-tahun lalu,
ibu alergi dingin. Saat kedinginan, tulang belulang ibu keram sehingga sulit
berjalan. “Mama pasti bisa. Yesus saja yang berjalan
sambil memikul salib bisa menyelesaikan perjalanan dengan penuh iman,” kata saya, memberi semangat.
Kenyataannya, ketika berjalan di Via Dolorosa, iman saya
mudah goyah. Konon, godaan iman terbesar manusia bukan saat kita berada dalam
kekurangan atau keterbatasan, melainkan saat berada dalam keberlimpahan. Di Via
Dolorosa, segala sesuatunya terasa begitu tersedia, mulai dari keramaian pasar,
deretan pedagang-pedagang souvenir, dan keriuhan pemukiman penduduk.
Ketika saya berlutut di salah satu stasi perhentian, bola
mata melirik ke deretan pedagang pernak-pernik. Para pedagang menjual patung,
kalung, tempelan kulkas, gantungan kunci, gelang, kaos, sepatu, dan banyak
benda-benda unik lain. Beragam souvenir yang terbuat dari pahatan kayu dan
tempaan logam itu dipajang di dalam kios berukuran 2 x 3 meter. Sebagian barang
ditata menjalar hingga ke luar kios.
Selain kios souvenir, ada juga kedai makanan dan minuman.
Pedagang menjual sosis dan roti bakar, kebab, hingga beragam kurma dan buah
delima. Aroma sedap makanan terbang hingga ujung hidung. Terbesit di kepala
untuk berhenti Jalan Salib. Ingin rasanya mengecap panganan khas
Timur Tengah itu. Ahh… betapa nikmatnya… Menelusuri Via Dolorosa yang penuh warna dan tawaran kenikmatan duniawi, membuat saya bertanya: Inikah jalan sengsara itu? Jalan sengsara yang dilalui Yesus dulu?
Saat sedang membayangkan kelezatan makanan, kakak saya,
Raditya Beken Wicaksana (27) menyenggol bahu. “Ayo!” kata dia, membuyarkan
lamunan.
Di antara para peziarah, pedagang souvenir, dan warga yang
berlalu-lalang, puluhan polisi dan tentara Israel berjaga-jaga. Mereka
mengenakan pakaian dinas berwarna gelap, memakai sepatu boot kulit, dan mengenggam senjata laras panjang. Meski terlihat
santai, telunjuk mereka siaga pada picu senapan.
Bola mata awas memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang melintas.
Tiba-tiba, ketakutan menyergap. Bagaimana kalau tiba-tiba
perang terjadi di antara para peziarah yang tak saling mengenal ini? Bagaimana
saya bisa menyelamatkan diri? Ke mana harus berlari menghindari tembakan peluru
tentara? “Tenang saja…. Mereka memang setiap hari di sini. Tidak akan ada
perang,” kata Walid, seolah bisa membaca pikiran orang lain.
Di depan rombongan, ibu dan ayah berjalan pelan. Ibu
mengenakan kaus dengan tiga lapis sweater.
Di lehernya tersampir syal panjang berwarna hijau muda. Saat itu, bulan
Desember, suhu udara di Yerusalem sekitar tiga derajat selsius. Seiring
matahari turun, hawa dingin kian menyesakkan dada. Tulang belulang terasa ngilu
dan beku. Rombongan bergerak semakin dalam ke jantung keramaian pasar, ke titik-titik di mana Yesus disiksa dan dihina.......
... bersambung.
(Denty Piawai Nastitie)
"Konon, godaan iman terbesar manusia bukan saat kita berada dalam kekurangan atau keterbatasan, melainkan saat berada dalam keberlimpahan. "
ReplyDeleteSuka sama kalimat ini. Pas berkecukupan atau berkelimpahan kadang suka lupa bersyukur. Tapi pas lagi ada maunya, doa nya sampe berbusa2 hehehe..manusia..
Btw den, km ga jalan salib malah hunting foto ������
sekali menyelam minum air tik.... kan katanya: pergilah dan wartakan Kerajaan Allah, gimana bisa diwartakan kalau gak ada fotonya hihiii :) :)
Delete