My Diary.
to share my ups-and-downs events

Memoirs of Hiroshima

hiroshima 5
A Bomb Dome.
     War is the work of man.
     War is destruction of human life.
     War is death.
     To remember the past is to commit one self to the future.
     To remember Hiroshima is to abhor nuclear war.
     To remember Hiroshima is to commit oneself to peace.
        
     (25 February 1981, Hiroshima Peace Memorial Park,
     His Holiness Pope John Paul II)

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 21 September 2013, diperingati sebagai hari perdamaian dunia. Apakah perdamaian dunia itu nyata? Mari kita banyangkan situasi di bawah ini:

Pada hari yang cerah, 68 tahun lalu, seorang bocah laki-laki lahir ke dunia. Dalam suka cita, keluarga bocah itu merayakan kehadirannya.

Tak lama kemudian, tanpa sedikit pun belas kasih, sebuah bom atom meledak tepat di atas kota dimana bocah itu dilahirkan. Ledakan yang begitu besar, pedih, dan menyakitkan. Hanya diperlukan satu ledakan saja untuk merenggut kebahagiaan dan harapan keluarga si bocah.

Bocah itu selamat, namun seluruh keluarganya tewas.

Dalam panti asuhan, bocah itu hidup terasing. Ia hidup dalam kesulitan dan kesakitan. Yang lebih menyedihkan, ia tak mampu merasakan kasih dan kebahagiaan dari keluarganya lagi.

Waktu berlalu. Saat ini, bocah itu hidup sebagai a lonely old hibakusha. Hibakusha, dalam bahasa Jepang, berarti "korban bom atom" atau "korban radiasi nuklir."

"I have never once been glad I survived," katanya suatu ketika. Ingatan akan kehilangan keluarga tercinta, diskriminasi, dan bagaimana ia menderita masih terbayang di kepala.

hiroshima 3

Bocah dalam cerita itu adalah korban, satu dari ratusan ribu korban ledakan bom atom yang dijatuhi Amerika pada tanggal 6 Agustus 1945 di kota Hiroshima, Jepang. Tercatat 140.000 orang tewas dalam ledakan di Hiroshima, dan 80.000 orang tewas dalam ledakan kedua yang terjadi 3 hari kemudian di kota Nagasaki.

Dalam peristiwa tersebut, tak terhitung jumlah korban luka-luka baik berat maupun ringan. Kebanyakan dari mereka mengalami patah tulang, rambut terbakar, kulit mengelupas, dan kuku-kuku tecabut lepas. Banyak korban selamat yang awalnya terlihat sehat baru merasakan dampaknya setelah 10-20 tahun paska kejadian. Kesehatan mereka tiba-tiba merosot tajam, hingga akhirnya tutup usia.

Kisah bocah di atas adalah ilustrasi yang saya kutip dari lembar "Peace Declaration" yang ditulis oleh Matsui Kazumi, Walikota Hiroshima. Peace Declaration dibacakan pada hari peringatan Atomic Bomb Day ke-68, 6 Agustus 2013.

Rasa sakit, amarah, derita, luka, dan kesedihan yang mendalam masih terbayang di ingatan. Bersama ratusan ribu korban lainnya yang selamat, hibakusha berjuang untuk berdamai dengan penderitaan masa lalu. Melalui ingatan-ingatan yang pedih dan memilukan, mereka menyerukan perdamaian dunia. Bagi merereka, perdamaian dunia belum nyata selama teknologi nuklir masih terus dikembangkan oleh negara-negara maju.

Dalam "Peace Declaration", Matsui Kazumi menulis, "...the atomic bomb is the ultimate inhuman weapon and an absolute evil. The hibakusha, who know the hell of atomic bombing, have continuously fought that evil."

Saat ini, hibakusha, yang rata-rata berusia 78 tahun, terus berusaha menyerukan perdamaian dunia. Mereka berharap, setiap orang dari seluruh dunia ikut menyebarkan semangat ini.

Mengingat kembali kejadian ledakan bom atom yang terjadi 68 tahun lalu, Matsui Kazumi mengajak kita semua, "... to do everything in our power to eliminate the absolute evil of nuclear weapons and achieve a peaceful world."

*

hiroshima 7
Pengunjung Hiroshima Peace Memorial Museum mengamati foto yang menampilkan wajah Hiroshima yang rusak parah akibat ledakan bom pada 6 Agustus 1945.
hiroshima 1
Salah satu diorama museum yang menunjukkan efek bom terhadap tubuh dan pakaian manusia.
Mengunjungi Peace Memorial Park, saya sendiri hanya bisa termenung menyaksikan bagaimana bukti kejahatan sebuah peperangan dipaparkan. Peace Memorial Park dulunya adalah jantung politik dan ekonomi kota Hiroshima. Karena alasan itulah maka area ini dijadikan target operasi peledakan bom oleh Amerika Serikat. Pemerintah Jepang sengaja menjadikannya sebagai Peace Memorial Park untuk mengingatkan masyarakat akan tragedi bom atom yang terjadi puluhan tahun silam.

Peace Memorial Park adalah sebuah lahan seluas 120.000 meter persegi. Di tempat ini terdapat bangunan berupa Peace Memorial Museum, A Bomb Dome, Children's Peace Monument, Genbaku Dome (Monumen Perdamaian Hiroshima), dan taman kota. Setiap tanggal 6 Agustus, pemerintah Jepang menjadikan Peace Memorial Park sebagai tempat peringatan Atomic Bomb Day.

Tak jauh dari Peace Memorial Museum terdapat A Bomb Dome, pilot's target peledakan bom atom. A Bomb Dome sendiri dulunya adalah bangunan Prefectural Industrial Promotion Hall, tempat promosi industri Hiroshima. Ketika bom atom diledakkan di atas kota Hiroshima, hanya sedikit bangunan yang mampu bertahan, A Bomb Dome salah satunya. Oleh pemerintah Jepang bangunan ini sengaja dijadikan situs sejarah untuk mengingatkan kita akan kekejaman sebuah peperangan.

Saat mengunjungi lokasi Hiroshima Peace Memorial Park, saya mendapati matahari bersinar terang, langit berwarna biru, awan putih berarak, dan burung-burung terbang di udara. Menurut keterangan Peace Memorial Museum, suasana hari yang cerah seperti itu persis seperti ketika bom atom diledakkan di atas kota Hiroshima. Saya jadi membayangkan, bagaimana kalau tiba-tiba sebuah bom kembali diluncurkan saat saya sedang menikmati keindahan kota ini..... hfff.....

hiroshima 4
Hiroshima adalah kota cantik yang dililit sungai-sungai dengan banyak tumbuhan hijau.
hiroshima 6
Ribuan origami dibuat oleh masyarakat Jepang sebagai seruan perdamaian dunia. Bagi orang Jepang, origami berbentuk bebek menggambarkan pengharapan yang sangat besar.
hiroshima 2
Sejumlah orang lanjut usia mengunjungi Hiroshima Peace Park.

Satu hari sebelum berangkat menuju Hiroshima, seorang teman yang pernah mengunjungi kota yang terletak di wilayah Chugoku ini mengatakan, "Hiroshima is beautiful, but sad." Menginjakkan kaki di Hiroshima saya menyadari, apa yang dikatakannya tak jauh berbeda dengan yang apa yang saya rasakan.

Hiroshima memang kota yang indah. Kota ini dikelilingin sungai-sungai cantik dengan pohon-pohon teduh di pinggirnya. Siapa sangka, di kota seelok ini, sebuah tragedi memilukan pernah terjadi.

Sebelumnya, sejak jaman Meiji hingga berakhirnya Perang Dunia II Hiroshima dikenal sebagai pusat industri militer dan logistik untuk keperluan perang. Sejak Jepang melancarkan serangan mendadak melumpuhkan Angkatan Laut US di pangkalan Pearl Harbor, Hawai, pada 7 Desember 1941, Amerika Serikat bertekad untuk perang melawan kekaisaran Jepang. Belajar dari kesalahan dan penderitaan masa lalu, kini, Hiroshima mencoba untuk menata diri.

Dalam sebuah diorama di Hiroshima Peace Memorial Museum, mata saya berkaca-kaca mendengar suara seorang ibu berteriak, "Tolong... Tolong..." sesaat setelah ledakan bom terjadi. Ibu itu berusaha meminta bantuan orang yang lewat untuk menyelamatkan anaknya yang sekarat di bawah bangunan rumah yang ambruk. Tak ada orang yang datang membantu, semua orang bingung dan sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Ibu itu pun melihat kondisi tubuhnya yang compang-camping, penuh darah dan luka. Ia merintih kesakitan, ia tak mampu berbuat banyak. Sambil menangis dan dengan diliputi dilema dan penyesalan luar biasa, ia meninggalkan anaknya pergi.

Kisah si ibu adalah satu dari sejumlah kisah yang dipaparkan di Peace Memorial Museum. Sejarah mencatat bahwa bom atom telah menewaskan ratusan ribu korban jiwa, menghancurkan bangunan, meluluh-lantakkan kota. Para peneliti memperkirakan, membutuhkan waktu selama 75 tahun agar tumbuhan bisa kembali tumbuh di Hiroshima. Tapi siapa sangka, hanya memerlukan waktu satu musim semi untuk melihat kembali daun-daun berwarna hijau tumbuh pada tangkai-tangkai pohon.

Daun-daun hijau yang tumbuh dan bunga-bunga yang kembali bermekaran adalah harapan baru bagi Hiroshima. Maka dari Hiroshima kita belajar berdamai dengan masa lalu dan menjadikan kenangan pahit sebagai kekuatan dan harapan menyambut masa depan (DPN, 2013).
  •  
  •  
  •  
  •  
rambutkriwil rambutkriwil Author

Maiko's Dancing

maiko (4), dpn 2013 

Bertemu geisha di Gion, Kyoto, membawa saya pada dunia imajinasi. Saya menebak-nebak apa yang sedang mereka pikir atau rasakan. Apakah mereka sedang senang atau sedih? Di balik dandanan yang khas berwarna putih pekat dan gincu merah, seorang geisha menyimpan rahasia diri sehingga setiap orang yang melihatnya bebas menafsirkan senyum atau tawa mereka sesuka hati.

Geisha berasal dari kata "gei" yang berarti seni atau pertunjukan, dan "sha" yang berarti orang. Secara singkat istilah geisha dapat diartikan sebagai "orang seni" atau orang yang mengabdikan dirinya pada kesenian dan ketrampilan untuk menghibur. 

Sejak kecil, seorang geisha berlatih tari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Mereka juga dibekali pengetahuan sejarah dan kebudayaan. Dengan ilmu dan ketrampilan yang mereka miliki, geisha hadir di berbagai pesta untuk menghibur tamu undangan. Semakin professional seorang geisha maka semakin mahal harga yang harus dibayar untuk mengundang mereka hadir dalam suatu acara. 

Selama ini profesi geisha sering dikonotasikan dengan aktifitas prostitusi. Mereka dianggap sebagai "wanita penghibur" (dalam tanda kutip). Mitos ini terbentuk sejak jaman masa pendudukan Amerika Serikat di Jepang. Profesi geisha sendiri sudah ada sejak abad ke-18 dan berkembang pesat pada abad ke-19. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak dulu, namun profesi geisha masih eksis hingga kini.

Ketenaran cerita geisha membuat banyak orang penasaran. Mereka menjadikan perburuan geisha sebagai objek wisata yang menantang. Setiap sore, puluhan hingga ratusan orang memadati Gion untuk bertemu geisha. Bila ada seorang geisha yang berjalan di antara kerumunan massa, sudah pasti semua orang akan berlari memburu foto geisha tersebut.

maiko (5), dpn 2013 

Sore itu, saya melihat dua orang geisha berjalan elegan. Dengan langkah anggun, dagu terangkat, dan tangan terlipat di dada memegang kotak kimono, mereka melintasi gang sempit di antara rumah-rumah kayu traditional yang ada di Gion, Kyoto. Mereka mengenakan kimono berbahan sutra dan sepatu berhak tebal.

Salah seorang teman saya, Narastika, menyapa geisha itu. "Maiko, berhenti dong..... foto dong....". Di Kyoto, istilah 'maiko' mengacu pada geisha pemula, usianya berkisar antara 12-20 tahun, sedangkan 'geiko' merupakan geisha professional, usianya di atas 20 tahun. 

Bukannya berhenti, kedua geisha itu justru mempercepat langkahnya. "Aaa.... tidak mau. Saya malu. Saya tidak cantik," jawab salah seorang dari mereka dalam bahasa Jepang. Di sebelahnya, rekannya sesama geisha terkekeh. Mereka kemudian melanjutkan langkahnya menuju rumah minum teh, tempat mereka bekerja.

Sudah bukan rahasia umum bila ada yang mengatakan bahwa mendapatkan gambar geisha yang sedang melintas di Gion tidak semudah yang dibayangkan. Seseorang pengunjung Gion, di sebelah saya berkomentar, "Mereka berjalan seperti bayangan. Sekelibat, lalu menghilang.”

maiko (1), dpn 2013
maiko (2), dpn 2013

*
Apa yang saya ketahui soal geisha sebagian besar saya dapatkan dari buku berjudul "Memoirs of Geisha" karangan Arthur Golden. Buku itu bercerita tentang Sayuri, seorang anak dengan mata biru-kelabu yang mempesona. 

Sayuri berasal dari keluarga nelayan miskin. Oleh ayahnya ia dijual ke sebuah rumah geisha (okiya) untuk bekerja sebagai pelayan. Awalnya Sayuri ingin melarikan diri dari rumah itu, namun nasib berkata lain. Oleh seorang geisha professional, Sayuri diangkat dan dididik menjadi geisha terkenal.

Mameha, geisha professional itu, membekali Sayuri dengan ilmu dan ketrampilan dalam berkesenian. Ia juga membelikan alat musik, kimono, dan sepatu berkualitas. Selama mengikuti pendidikan menjadi geisha, Sayuri diharuskan mematuhi berbagai peraturan dan strategi yang dibuat Mameha. Mameha mengatur rencana agar Sayuri bisa mendapatkan 'harga jual' yang tinggi. Dengan harga jual tersebut, Sayuri mampu mengalahkan pesaing-pesaingnya untuk mendapatkan danna yang kaya raya. Danna adalah seorang pria yang akan menyokong kehidupan geisha. Dengan uang yang didapatkannya itu, Sayuri membayar hutang kepada okiya, tempatnya bekerja.

Kisah Sayuri adalah kisah geisha pada awal abad ke-19. Lalu bagaimana dengan kisah geisha masa kini? Apakah semua geisha memiliki masa lalu yang sulit dan getir seperti milik Sayuri? Sayangnya, saya tidak berhasil berbicara langsung dengan mereka sehingga tidak tahu jawab pastinya.

maiko (3), dpn 2013  

Selama mengunjungi Gion, pusat distrik geisha di Kyoto, saya sering bertemu geisha yang terlihat eksklusif (berjalan sendiri, tidak mau difoto, dsb) namun tak jarang saya bertemu geisha yang tampil kasual. Mereka berjalan santai, menyapa teman atau kerabat yang tak sengaja mereka temui di jalan, tersenyum, berbicara dengan rekan sesama geisha, dan sesekali tertawa. Beberapa geisha terlihat belia. Wajahnya ceria. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang sulit dan berliku seperti milik Sayuri. 

Mengunjungi Gion dan bertemu dengan banyak geisha professional membuat saya sadar bahwa geisha adalah manusia biasa. Di luar kimono yang mereka kenakan, tentu saja seorang geisha memiliki ceritanya masing-masing. Sebagaimana manusia pada umumnya, mereka membutuhkan teman untuk bersosialisasi, namun ada kalanya memerlukan ruang privasi. Beberapa kali saya bertemu geisha berwajah sendu atau murung. Mungkin, mereka merasa tidak nyaman ketika puluhan orang berdesak-desakan mengelilinginya untuk foto bersama.

Ketika sedang menunggu geisha yang melintas, seorang fotografer asal Qatar bertanya, "What if I want to see their performances?"

"You can't," jawab seorang fotografer asal Australia. Menurutnya, hanya orang Jepang yang bisa hadir dalam pesta untuk melihat mereka menunjukan kebolehannya. "Only if you have a Japanese friend, who is very rich, attends the party, and he invites you to come along," jelasnya. 

Seiring perjalanan waktu, beberapa pusat pertunjukan menampilkan Maiko's dancing (pementasan tari oleh geisha pemula). Dalam panggung-panggung pertunjukan itu turis, fotografer, dan masyarakat umum bisa menyaksikan pementasan geisha. Harga tiketnya sekitar 2.000 - 3.000 ¥ (sekitar Rp 200.000-300.000).

Beruntunglah pada hari terakhir kunjungan saya ke Kyoto, saya sempat menyaksikan pementasan maiko secara gratisss!!! Pementasannya sendiri diadakan di Miyakomesse,  The Kyoto International Exhibition Hall. 

Dalam pementasan itu seorang maiko (geisha pemula) membawakan tarian traditional Jepang dengan gemulai dan penuh penghayatan. Pada akhir acara, geisha itu  mengenalkan istilah-istilah kimono yang digunakannya. Sambil mengangkat tangannya, geisha itu menunjukkan detil-detil rancangan kimono yang cantik. 

Selama pertunjukan berlangsung (saat menari) pengunjung tidak diperkenankan mengambil gambar atau merekam video. Mungkin dengan cara itu, pengunjung bisa fokus menikmati pertunjukan, dan tanpa kamera dan alat perekam yang menyorot wajahnya, geisha tersebut bisa sepenuhnya hadir sebagai seniman penghibur traditional Jepang. (DPN, 2013).

  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
rambutkriwil rambutkriwil Author

14 Jam Menuju Hiroshima

Willer Bus yang saya tumpangi dari Tokyo sudah ramai dengan penumpang. Arloji menunjukan pukul 11 malam waktu Shinjuku. Saya mendapat kursi bernomorkan 6D, tepat di dekat jendela.

Karena tubuh masih pegal akibat pendakian Fujisan tempo hari, saya langsung merebahkan diri di atas couch yang tersedia. Istirahat dan tidur nyenyak, hanya itu yang saya inginkan!! Tapi yang terbayang di depan mata justru perjalanan menuju Hiroshima dalam sebuah bis malam yang akan terasa panjang dan melelahkan.

Tak lama kemudian, seorang wanita muda datang, lalu duduk di sebelah saya.

Wanita itu berusia sekitar dua puluh tahun, berkacamata, berambut panjang sebahu dengan poni menutupi sebagian keningnya. Dia terlihat manis dengan jepit rambut berwarna pastel. Wanita itu tidak banyak bicara.

Setelah bis mulai bergerak meninggalkan Shinjuku Station, saya memberanikan diri menyapa wanita itu. "Are you living in Hiroshima?"

"Once again??" tanyanya, sambil mendekatkan kupingnya pada wajah saya.

Aha! Sebuah respon yang baik! Tidak banyak orang Jepang berbicara dalam bahasa Inggris, dan usaha perempuan ini untuk memahami pertanyaan saya bisa dikatakan mengesankan. Maka saya ulangi lagi pertanyaan saya. Lebih pelan, lebih jelas. Kali ini dengan jeda yang panjang. "Arrrre youuu..... livinggg...... in Hiroshimaaa.... ?"

"Aaaa.... Yes! Yes!" serunya kemudian. Tergesa-gesa dia melempar balik pertanyaan pada saya, "Are you a tourist?"

Awalnya saya agak terkejut dengan istilah 'turis' yang digunakannya. Apakah saya turis? Selo banget jadi turis... hahaha. Kemudian saya menjawab, "Yes!" dengan nada tinggi seperti dirinya.

"Aaaaa.... Tourist!! Tourist!!" dari ekspresi wajahnya, wanita yang akhirnya saya tahu bernama Yoshiko itu kelihatan senang. Dia mengaku tak pandai bahasa Inggris, namun itu tidak masalah. Kebaikan hati dan keramahannya sungguh luar biasa.

Saya dan Yoshiko berbicara mengenai banyak hal: mengenai univesitas tempat dia berkuliah, mengenai the best Oknonomiyaki dan Takoyaki in town, mengenai Shakespare dan roman Romeo and Juliet-nya, mengenai pendakian Fuji yang beberapa hari lalu saya lakukan, hingga kisah persahabatan dan penghianatan yang dirasakan Oda Nobunaga, seorang pemimpin Jepang pada masa lalu.

"Oda Nobunaga very strong, very charismatic," kata Yoshiko mengawali kisahnya tentang pemimpin Jepang pada abad pertengahan itu. Kata Yoshiko, Oda Nobunaga memimpin ratusan ribu pasukan untuk memenangkan pertarungan. Di tengah perjuangannya, salah seorang kepercayaannya, Mitsuhide, berkhianat. Penghianatan Mitsuhide meninggalkan luka dan kesedihan yang begitu mendalam. "Then, there is Hideyoshi who killed Mitsuhide. Hideyoshi is the Taiko."

Banyak literatur sejarah yang menceritakan tentang kisah hidup Hideyoshi. Dari buku berjudul "Taiko" saya mengenal Toyotomi Hideyoshi, atau sang Taiko, sebagai tokoh pemersatu Jepang.

Hideyoshi, atau yang sering dipanggil dengan sebutan "si monyet", lahir dari sebuah keluarga petani miskin.  Dia kemudian menjadi pekerja kelas rendah untuk Oda Nobunaga. Pekerjaannya antara lain sebagai pembawa sendal, tukang kayu, dan kepala bagian dapur. Namun karena kecerdasan, keuletan, kerja keras, dan keberaniannya, Hideyoshi menjadi terkenal di kalangan pengikut Nobunaga.

Berbagai tugas dan tanggung jawab dikerjakan Hideyoshi penuh pengabdian dan tanpa mengeluh. Hal ini membuat Oda Nobunaga memberinya kepercayaan untuk memimpin pasukan. Dengan pasukan yang dimilikinya, Hideyoshi berhasil menghentikan perang yang telah berkecamuk sejak lama. Hideyoshi adalah tokoh pemersatu Jepang.

Sebelum meninggal, Hideyoshi  membangun Osaka Castle (Istana Osaka) di bekas kuil Ishiyama Honganji. Osaka Castle dibangun sebagai istana sekaligus benteng pertahanan. Seorang penguasa dari Kyushu memuji kemegahan dan kemewahan Osaka Castle sebagai "tiada dua-nya di Jepang".

*

Cerita Yoshiko membawa saya kembali pada abad ketika kisah-kisah heroik samurai menjadi buah bibir para petani di pinggir kota kecil, ketika banyak ninja bertugas dalam kesenyapan menyusupi benteng musuh, dan ketika seluruh lapisan masyarkat bahu membahu membangun benteng-benteng pertahanan. Itulah sejarah yang membentuk nadi kehidupan Jepang masa kini.

"Is the samurai still exist until today?" tanya saya, polos.

"Maybe.... Hahahahaa." Yoshiko tertawa. Dia kemudian mengambil sebuah notes kecil, menuliskan beberapa nama samurai terkenal di Hiroshima. "These samurais very famous, maybe you will meet one of them." katanya, masih dengan tawa. Tawanya membuat saya tidur lelap, kemudian.

"What makes you come to Hiroshima?" tanya Yoshiko sebelum memejamkan mata.

"To know... how to release from the past life pain," jawab saya singkat.

Yoshiko mengangguk singkat. Gambaran tentang peledakan bom atom yang menewaskan 140.000 jiwa mungkin terbayang di kepalanya. Kami tahu, sejarah sebuah bangsa tidak lepas dari cerita akan persahabatan dan penghianatan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Sebuah bangsa yang besar akan belajar dari sejarahnya untuk menyambut masa depan.

Malam semakin pekat. 14 jam menuju Hiroshima  tidak lagi terasa mengerikan.




[Hiroshima, DNP 2013
Belajar menjadi manusia yang berjiwa besar.]
  •  
  •  
  •  
rambutkriwil rambutkriwil Author

Merah Putih di Puncak Fujisan

Mata anak itu merah dan basah. Kepalanya menunduk ke arah lututnya yang dilipat. Jaket tebal yang dikenakannya kelihatan tidak cukup melindungi dia dari dingin yang menerjang. Beberapa orang dewasa di sekitarnya membelai lembut kepala anak itu, beberapa mengusap-usap pundaknya.

"Ganbatte ne! Akiramenna!!" kata salah seorang wanita di telinga anak itu. Artinya: semangat, jangan menyerah!

Anak itu kemudian mengangguk, memantapkan dirinya untuk kembali melangkah. Di hadapannya terbentang jalanan panjang yang berbatu, berkerikil, berpasir, gelap, dan menanjak. Anak itu mengerahkan segenap kemampuannya. Satu langkah, berarti satu tingkat lebih tinggi.

Gerakan anak itu di sambut tepuk tangan oleh orang-orang di sekelilingnya. Mereka merangkul anak itu. "Yatta!! Sugee!!" seru mereka.

Anak itu adalah satu dari sejumlah anak yang saya temui ketika mendaki gunung Fuji, 3776 m di atas permukaan laut. Walau masih kecil, berusia sekitar 5-8 tahun, namun anak-anak itu tidak gentar untuk terus melangkah. Tubuh yang mungil dengan beban berat di pundak, jalanan yang gelap dan menantang, serta dingin yang membekukan tulang belulang membuat mereka tidak selalu terlihat kuat. Namun dukungan dari orang tua serta paman dan bibi-nya, membuat anak-anak ini bertahan.



Bagi orang Jepang, mendaki gunung adalah persembahan dan doa kepada para dewa. Sebagaimana lari marathon atau bermain golf, mereka juga menganggap naik gunung sebagai sarana olah raga. Setiap tahunnya, ribuan orang Jepang mendaki gunung untuk mengukur kesehatan mereka. Itulah alasan mengapa sejak kecil anak-anak sudah diajak mendaki gunung. Mereka akan tetap mendaki hingga lanjut usia.

Memikirkan hal ini membuat saya merasa bersalah karena lebih sering bermalas-malasan ketimbang lebih mengenal dan mencintai alam. Efeknya adalah langkah kaki saya lebih lambat dari orang kebanyakan, tubuh yang mudah lelah, pikiran yang sulit untuk fokus, dan kemampuan adaptasi yang lemah.

"Denty.. Denty.. " kata Felicia membuyarkan lamunan saya. Felicia adalah salah seorang teman asal Singapore yang saya temui berkat kemudahan jaringan sosial Couch Surfing. Bersama Hanh Hiu, asal Vietnam, kami bertekad untuk mencapai puncak Fujisan.

Saya menatap Felicia. "I am freezing. I can't stand for this cold." sahut saya dengan nafas terengah-engah. 5 jam lebih sudah berlalu, namun puncak yang dituju terasa masih sangattt jauh. Saya melirik arloji, pukul 23.30. Dingin angin malam semakin keras berhembus, menyapu wajah dan telapak tangan hingga terasa beku.

"Keep moving.  Take long rests make you feel freezing." seru Felicia.  Felicia berjalan di belakang saya, namun hampir tidak pernah beristirahat bila bukan saya yang meminta. Walaupun tubuhnya mungil, namun prima tubuhnya patut diacungi jempol.

Saya mengangkat kepala, melihat tikungan-tikungan tajam berbatu yang menanti di hadapan. Mungkinkah saya mencapai puncak Fujisan?

"We almost there." kata Felicia membesarkan hati saya.

Yang dimaksud Felicia dengan "almost there" adalah melewati belasan lagi tikungan menanjak dengan batu-batu besar yang menantang. Batu-batu besar ini membuat para pendaki harus mengerahkan tangan dan kaki untuk memanjat. Gelap, dingin, kering, dan tubuh yang kelelahan membuat konsentrasi terpecah. Berhenti atau beristirahat justru memberi kesempatan pada tubuh  untuk merasakan dingin yang semakin menyiksa.

Sama seperti anak tadi, saya kemudian memantapkan diri. Satu langkah, berarti satu tingkat lebih tinggi. Saya pun mulai merambat naik.


Jalan Panjang Itu Bernama Yoshida Trail

Untuk mencapai puncak Fujisan, ada 5 rute yang dapat kita pilih: Ochudo trail, Yoshida trail, Subashiri trail, Fujinomiya trail, dan Gotemba trail. Untuk menghindari cuaca dingin yang ekstrim, rute pendakian ini hanya dibuka pada waktu summer, yakni bulan Juli-Agustus setiap tahunnya. Pada musim inilah ribuan orang Jepang dan turis asing dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong mendaki puncak Fujisan.

Saya memilih mendaki melalui Yoshida trail karena akses-nya yang mudah dari stasiun keberangkatan, Shinjuku Station, Tokyo. Perlu waktu 150 menit dengan menumpang Keio Bus untuk mencapai Kawaguchiko 5th Station, pos pertama pendakian. Setelah melakukan persiapan akhir, tepat pukul 5 sore, saya mulai mendaki puncak Fujisan.

Bila selama ini saya berpikir bahwa Fujisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan cantik, maka dalam pendakian ini Fujisan menampakkan wajah aslinya.

Dari jauh warna Fujisan didominasi  biru muda dengan pucuk seputih salju yang hampir menyatu dengan warna awan. Dari gambar-gambar kartu pos yang sering saya lihat, banyak pohon maple atau momiji dengan daun berwarna pink berbingkai kekuningan tumbuh di sekitar Fujisan. Pesona Fujisan bertambah sempurna dengan Kawaguchiko Lake yang terkenal itu. Namun malam itu saya sadar, saya berada di gunung Fuji yang gersang dan kering, track yang panjang dan berbatu, debu-debu yang berterbangan seiring derap langkah kaki ribuan manusia, dan angin beku yang meniup sewaktu-waktu.

Melihat Fujisan dari dekat membuat saya sadar: tidak ada pohon hijau yang tumbuh di sekitar puncaknya, tidak ada mata air yang menyegarkan, tidak ada bunga-bunga yang bermekaran. Yang ada hanyalah tanah kering pecah-pecah, pasir, batuan besar, kerikil, debu, dan ribuan orang yang mendaki dalam waktu bersamaan. Inilah gambar Fujisan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Rute pendakian Fujisan memang terkenal berat dan panjang. Saking beratnya, ada ungkapan yang menyatakan "a wise man climbs Fuji once, but only a fool does it twice."

Untuk mencapai puncak tertinggi di Jepang ini tercatat ada sepuluh pos yang harus dilalui. Para pendaki dilarang untuk mendirikan tenda, namun bagi mereka yang ingin menginap, banyak pondok penginapan yang ditawarkan sepanjang jalur pendakian (terutama saat memasuki pos 8 hingga 10). Tarif-nya berkisar antara 5.000 - 7.000 yen (Rp 500.000-700.000). Karena banyak orang yang mendaki pada waktu bersamaan, dan tentu saja ingin menghangatkan diri dan menginap di sana, maka penginapan-penginapan ini sudah full-booked sejak jauh-jauh hari.

Saat sedang meluruskan kaki di depan salah satu pondok penginapan, seorang pria menyuruh saya dan para pendaki yang sedang beristirahat untuk terus berjalan. "More than two hundreds people are coming! You have to keep walking!" kata pria itu.

Saya dan rombongan pun kembali melangkah. Di depan kami, sudah ada ratusan orang pendaki. Di belakang kami, ada dua ratus orang segera menyusul. Semakin malam, jumlahnya semakin banyak. Kami mengukur, ada seribu orang yang mendaki puncak Fujisan malam itu. Headlamp yang kami gunakan membuat deretan manusia ini seperti bintang yang berpendar-pendar di atas langit.

Karena dingin yang menyiksa, saya sempat berpikir untuk menyerah. Namun saya ingat telah melipat rapi bendera merah putih di dalam ransel. Saya ingin mengantar bendera ini sampai puncak Fujisan. Merah putih harus berkibar tepat pada hari kemerdekaan NKRI, 17 Agustus 2013.

Namun mengantar merah-putih sampai pada tujuan tidak semudah yang dibayangkan. Bila rata-rata orang dewasa mencapai puncak dalam waktu 6-8 jam, memerlukan waktu 10 jam bagi saya hingga berhasil melewati Fujisan torri gate, gerbang masuk menuju puncak Fujisan.

17 Agustus 2013

Setelah hampir sepuluh jam melangkah, saya mulai melihat warna langit berubah. Dari gelap pekat, menuju warna yang lebih terang. Kelihatannya, saya tidak akan mencapat puncak Fujisan pada saat sunrise. "It doesn't matter if we couldn't reach sunrise at the top." kata Felicia. Saya mengangguk, setuju.

Namun alam nampaknya sangat baik pada semangat kami hari itu. Tepat ketika saya melewati Fujisan torii gate, matahari berwarna emas perlahan-lahan muncul di angkasa.  Warnanya yang kemerahan memberikan semburat keindahan di antara warna pagi yang masih sunyi. Semburat emas kemerahan yang menghiasi langit membuat pemandangan Kawaguchiko-lake samar-samar muncul di antara kabut pagi.

Saya langsung melempar ransel biru saya ke tanah.  Mengangkat kepala saya ke angkasa, memandang keindahan langit Fujisan yang yang begitu indah. "Thanks God.... for the majestic!" kata saya dalam haru yang menjalarkan kehangatan pada seluruh tubuh.

Saya kemudian ingat pada merah-putih yang masih terlipat rapi di dalam ransel. Dengan tangan bergetar, saya mengikat bendera merah-putih  pada tongkat pendakian Fujisan. "Merah-putih, berkibarlah engkau di puncak Fujisan....." kata saya dalam hati. Di belakang saya, ribuan orang terheran-heran melihat saya, seorang diri, mengibarkan bendera merah putih.

Tidak lama kemudian, seorang pria mendekati saya. "Are you Indonesian?" tanyanya. "Yes, I am." jawab saya mantap.

"Merah-putih!!!!" katanya lalu mengambil tongkat bendera saya dan mengibar-ngibarkannya ke udara. Orang-orang semakin heran melihat tingkah kami berdua.

"Today is our country's independence day! Today is Indonesia independence day!" serunya menjawab keheranan orang-orang di sekitar kami. Orang-orang itu kemudian tersenyum, dan ikut mengabadikan keberadaan bendera merah putih melalui kamera mereka.

"Tunggu ya Mbak, sebentar lagi ada teman-teman Indonesia yang akan mencapai pucak Fujisan. Ayo kita kibarkan merah-putih bersama-sama!!" seru pria itu penuh haru.

Maka hari itu, 17 Agustus 2013, disaksikan ribuan orang dari berbagai belahan dunia........... merah-putih berkibar di puncak Fujisan.  Inilah merah putih yang bisa menyatukan anak bangsa. Happy Independence Day, INDONESIA!! Without you, I would never reached the top of Fujisan [DPN, 2013].

  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
rambutkriwil rambutkriwil Author

rambutkriwil

chronicle of a curly girl to live a life

Featured Post

MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM

HI YOU! NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM   NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM   SE...

Latest Posts

Instagram Post!

Followers