Kepompong
21:57

Narastika dan saya sama-sama hobi bervakansi. Pada 2010, kami mendapatkan beasiswa pertukaran pemuda ke Luton, Inggris. Meski program itu melarang peserta traveling ke kota lain tanpa asistensi dari supervisor, kami nekat ngetrip ke London (sekitar 50 kilometer dari Luton).
Di London, kami
menyusuri Sungai Thames, menikmati keindahan arsitektur Istana Buckingham yang megah dan mewah, menonton drama musikal Shakespeare (meskipun
tidak paham jalan ceritanya!) di Globe Theather, meresapi kehidupan malam di
sekitar London Eye, berfoto dengan mannequin, dan melakukan banyak hal lain.
Malam itu, dengan rasa haru dan gembira kami pulang
ke Luton naik kereta cepat. Sepanjang perjalanan, Narastika dan saya menahan
dingin karena tubuh kami hanya dibalut jaket tipis. Kami juga menahan lapar
karena tidak sanggup membayar makanan paling murah di Chinese Food Restaurant di
London. Meskipun kere, tetapi hore!
Pengalaman menyenangkan itu membuat kami bercita-cita untuk lebih banyak lagi melakukan perjalanan bersama. Kalau di Inggris kami ikut program Global Xchange dari British Council, next trip kami bercita-cita untuk tetap traveling meski tanpa sponsor.
Pada 2013, kami punya ambisi keliling Asia dalam satu tahun! Hahahhaa!! Cita-cita muluk, yang belum terwujud. Tetapi, sebagian mimpi itu mewujud nyata dengan melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Jepang. Setelah mengunjungi banyak tempat-tempat bersama Narastika, saya sadar perjalanan adalah moment yang tepat untuk memurnikan makna persahabatan.
Di perjalanan, kami menghadapi tantangan utama, yaitu membangun toleransi dan komunikasi bersama travelmate. Perjalanan sungguh menguras waktu, tenaga, dan emosi! Perjalanan bersama teman yang kurang cocok bisa bikin bete, mood rusak, berantem, rencana perjalanan buyar. Sebaliknya, perjalanan dengan teman yang pas membuat pengalaman semakin berkesan.
Pengalaman menyenangkan itu membuat kami bercita-cita untuk lebih banyak lagi melakukan perjalanan bersama. Kalau di Inggris kami ikut program Global Xchange dari British Council, next trip kami bercita-cita untuk tetap traveling meski tanpa sponsor.
Pada 2013, kami punya ambisi keliling Asia dalam satu tahun! Hahahhaa!! Cita-cita muluk, yang belum terwujud. Tetapi, sebagian mimpi itu mewujud nyata dengan melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Jepang. Setelah mengunjungi banyak tempat-tempat bersama Narastika, saya sadar perjalanan adalah moment yang tepat untuk memurnikan makna persahabatan.
Di perjalanan, kami menghadapi tantangan utama, yaitu membangun toleransi dan komunikasi bersama travelmate. Perjalanan sungguh menguras waktu, tenaga, dan emosi! Perjalanan bersama teman yang kurang cocok bisa bikin bete, mood rusak, berantem, rencana perjalanan buyar. Sebaliknya, perjalanan dengan teman yang pas membuat pengalaman semakin berkesan.
Namun, saya yakin, seperti jodoh (kayak ngerti ajaa hehe), cocok atau tidaknya dengan teman seperjalanan bisa dibangun. :)
Sejak delapan bulan
sebelum perjalanan, Narastika dan saya sudah mempersiapkan jalan-jalan hemat di Negeri Sakura. Kami
mengatur itinerary, mencari hotel, memesan tiket pesawat dan tiket kereta dan bus
lokal, dan memasang target lulus kuliah! (FYI, demi bisa traveling setelah
lulus kuliah saya mengerjakan skripsi dalam waktu tiga bulan! :D)
Dari mengatur
itinerary, sebenarnya sudah terlihat bagaimana perbedaan sikap Narastika
dan saya dalam memandang perjalanan ini. Narastika sungguh well-organized, dia
mengatur itinerary perjalanan tidak hanya hari-per-hari, tetapi jam-per-jam! Dia juga
mengatur rencana penginapan dan transportasi dengan sangat detail. Hal ini
sungguh-sungguh berbeda dengan saya, yang super slebor!
Kalau
bepergian, saya
hanya punya gambaran besar dan kasar mengenai kota yang ingin saya
kunjungi dan
berapa lama saya akan tinggal di sana. Saya sama sekali tidak
memikirkan,
seharian (dari jam-per-jam) mau ngapain aja, yang ada di benak saya:
“Lihat
nanti saja deh mau mengunjungi apa! Tergantung mood!” Narastika kekeuh
jadwal harus fixed sebelum berangkat karena akan mempengaruhi budget.
Baiklaah, saya menyerah. Dan kami pun menyusun itinerary secara rigid.
Dalam diskusi, saya memberi beberapa destinasi yang ingin saya kunjungi. Narastika yang akan
memasukkannya dalam tabel-tabel itinerary disesuaikan dengan budget dan kondisi geografis.
Sesampainya di Jepang, perbedaan sikap kami semakin terasa. Narastika bergerak disiplin mengikuti jadwal, sedangkan saya lebih acak, dan mau menikmati slow-journey dengan, misalnya, berlama-lama menghayati sejarah Kota Hiroshima, berdialog dengan masyarakat setempat seperti para tukang becak Jepang, mencicipi makan makanan lokal, dsb. Saya sempat bete karena merasa hidup seperti diatur-atur dengan itinerary. Narastika juga pasti bete karena gerak saya super lambat dan mood mudah berubah-ubah. :(


Seringkali, tantangan dalam perjalanan bukanlah keterbatasan bahasa atau uang atau waktu dan sebagainya, tantangan dalam perjalanan adalah membangun toleransi dan komunikasi dengan orang lain agar perjalanan menyenangkan! Sekalipun ada yang mengklaim sebagai solo traveler, bukankah kita tidak akan pernah betul-betul sendirian dalam perjalanan? Lalu apakah Narastika benar karena menyiapkan perjalanan dengan lebih detail sedangkan saya salah karena tergolong orang yang acak dan tidak terjadwal?
Beberapa orang mungkin suka gaya traveling teragenda, beberapa orang lain suka style travelling yang spontan. Dalam perjalanan tidak ada yang lebih benar atau lebih salah karena semua keputusan yang diambil tergantung situasi dan kondisi. Persiapan sebelum trip memang penting, tetapi spontanitas dan fleksibilitas juga sangat dibutuhkan.
Ketika dua kepala memiliki isi otak yang berbeda, akhirnya masalah yang timbul adalah keinginan pribadi tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Misalnya, saya sangat ingin naik Gunung Fuji. Sementara Narastika sama sekali tidak tertarik naik gunung. Untungnya, perbedaan ini tidak berujung pada percekcokan, adu mulut, jambak-jambakan, bete-betean, dan akhirnya malah jadi ngegosipin keburukan teman di kemudian hari.
Saya sangaaattt
senang naik Gunung Fuji, tetapi lebih senang lagi ketika bertemu Narastika lagi di
hostel!! Dia menyambut saya dan mengucapkan selamat karena saya sukses
mengibarkan bendera merah putih di Puncak Fujisan! AAAAHH, Tikaaa!!! Saya gak
mungkin mewujudkan cita-cita ini tanpa kamuuu!! *langsung meweeekkk*
Agar perjalanan
menyenangkan, kami juga coba untuk saling mengalah demi memenuhi keinginan
teman. Narastika menemani saya ke Shimokitazawa, distrik yang menjual
barang-barang antik! Sementara saya menemanik Tika ke kota satellite, Yokohama
(di sini kami nonton sirkus gratisan!).
Di Shimokitazawa kami makan siang di sebuah kafe yang kelihatannya keren. Saya memesan pasta dengan cara asal tunjuk menu karena buku menunya berbahasa Jepang dan pelayannya enggak ngerti Bahasa Inggris. Ternyata itu adalah pasta telur ikan.... yekss!! Dulu makan ikan aja saya enggak doyan, apalagi telur ikan T.T.... Saya sangat terkesan karena Narastika mau membagi makanannya supaya saya enggak kelaperan....
Di Meiji Shirine, saya kehabisan uang kecil. Narastika juga begitu baik menyumbangkan sebagian uang recehnya supaya saya bisa beli papan doa. Kalau doa itu terwujud, sungguh ini berkat kemurahan hati Narastika! (Makasihhh Tikaaa.... *mewek lagi untuk kesekian kali...)
Di Shimokitazawa kami makan siang di sebuah kafe yang kelihatannya keren. Saya memesan pasta dengan cara asal tunjuk menu karena buku menunya berbahasa Jepang dan pelayannya enggak ngerti Bahasa Inggris. Ternyata itu adalah pasta telur ikan.... yekss!! Dulu makan ikan aja saya enggak doyan, apalagi telur ikan T.T.... Saya sangat terkesan karena Narastika mau membagi makanannya supaya saya enggak kelaperan....
Di Meiji Shirine, saya kehabisan uang kecil. Narastika juga begitu baik menyumbangkan sebagian uang recehnya supaya saya bisa beli papan doa. Kalau doa itu terwujud, sungguh ini berkat kemurahan hati Narastika! (Makasihhh Tikaaa.... *mewek lagi untuk kesekian kali...)
Dengan berbagi kita
tidak akan pernah merugi. Justru mendapatkan banyaaak pengalaman seru dan unik.
Setiap kali saya bertemu Narastika, kami akan tertawa sampai perut sakit
mengingat banyak hal bodoh yang kami lakukan. Di perjalanan, kami lebih mengenal diri sendiri, dan bisa saling
beradaptasi dengan sahabat.
Karena Narastika sangat terjadwal, saya yang biasanya bangun siang jadi bangun lebih pagi. Sebaliknya, Narastika malah kesiangan terus!! “Ayo Tika, sudah jam 7!! Ayo kita jalan-jalan!!” jerit saya setiap hari di dormitory. Wkwkwk. Saya juga belajar bikin travel plan yang baik dan benar. :D
Tika yang hobi motret membuat album foto kami jadi lengkappp. Azeeekkk…. Tika yang biasanya jarang mau bergaul dengan random people, jadi lebih gampang ngobrol dengan orang lain. (Ada Om Ti, ada Mas H*dson, mas-mas di Kyoto dll wkkwkk).
Berbicara soal persahabatan saya jadi ingat lagu hits berjudul "Kepompong": Persahabatan bagai kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu persahabatan bagai kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong maklumi teman hadapi perbedaan...
Perjalanan tidak hanya menawarkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat unik dan indah, atau kebanggaan bisa selfie dan pamer foto-foto di facebook, perjalanan juga menawarkan kebersamaan, keceriaan, dan membuat kita lebih memaklumi perbedaan dan mempererat makna persahabatan.
Perjalanan ini membuat saya ingat kata-kata pemimpin legendari abad ke-16 Jepang Totomi Hideyoshi dalam buku Taiko: dua hal penting yang sulit ditemukan di dunia ini: persahabatan dan kesetiaan. Selama perjalanan, teman selalu datang dan pergi, tetapi kenangan akan persahabatan bertahan selamanya.
Jakarta, 29 November 2016.
Karena Narastika sangat terjadwal, saya yang biasanya bangun siang jadi bangun lebih pagi. Sebaliknya, Narastika malah kesiangan terus!! “Ayo Tika, sudah jam 7!! Ayo kita jalan-jalan!!” jerit saya setiap hari di dormitory. Wkwkwk. Saya juga belajar bikin travel plan yang baik dan benar. :D
Tika yang hobi motret membuat album foto kami jadi lengkappp. Azeeekkk…. Tika yang biasanya jarang mau bergaul dengan random people, jadi lebih gampang ngobrol dengan orang lain. (Ada Om Ti, ada Mas H*dson, mas-mas di Kyoto dll wkkwkk).
Berbicara soal persahabatan saya jadi ingat lagu hits berjudul "Kepompong": Persahabatan bagai kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu persahabatan bagai kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong maklumi teman hadapi perbedaan...
Perjalanan tidak hanya menawarkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat unik dan indah, atau kebanggaan bisa selfie dan pamer foto-foto di facebook, perjalanan juga menawarkan kebersamaan, keceriaan, dan membuat kita lebih memaklumi perbedaan dan mempererat makna persahabatan.
Perjalanan ini membuat saya ingat kata-kata pemimpin legendari abad ke-16 Jepang Totomi Hideyoshi dalam buku Taiko: dua hal penting yang sulit ditemukan di dunia ini: persahabatan dan kesetiaan. Selama perjalanan, teman selalu datang dan pergi, tetapi kenangan akan persahabatan bertahan selamanya.
Jakarta, 29 November 2016.
Ngetrip Bersama Keluarga ke Timur Tengah?? Nggak Banget!!
14:01
Bagi kebanyakan umat Katolik,
perjalanan menuju Tanah Terjanji Yerusalem seperti “naik haji”.
Selama perjalanan, para peziarah diajak menembus hamparan padang gurun, melewati kebun-kebun kurma dan anggur, serta menyusuri kota-kota indah di Timur Tengah untuk mengenang perjalanan bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Di Israel dan Palestina, para peziarah mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Yesus.
Karena sudah seperti “naik haji”, orang
tua saya kepingin mengunjungi Tanah Terjanji Yerusalem serta tempat-tempat lain
yang disebutkan di dalam Alkitab.
Pada 2014, ayah dan ibu mendaftar perjalanan ziarah ke Mesir, Israel, Palestina, dan Jordan. Namun, niat itu batal terlaksana karena dua minggu menjelang keberangkatan, ayah sakit.
Suatu hari, keluarga kami kembali
menyusun rencana perjalanan ke Timur Tengah. Kali ini, yang akan berangkat full team, alias ayah dan ibu dan dua
anaknya, yaitu Raditya dan saya.
Seumur-umur saya tidak pernah
membayangkan akan melakukan perjalanan bersama keluarga! Ke luar negeri pula!
Ke Timur Tengah pula!! Bakalan
rempoooonggg, cyiiin….
Kenapa saya ogah trip dengan keluarga?
Pertama, saya sering berantem dengan kakak saya, Raditya Beken Wicaksana. Raditya itu model kakak penindas yang kemauannya harus selalu dituruti (Hahaha). Sementara saya, model adik manja dan merepotkan. Perbedaan sikap ini membuat hari-hari kami diisi adu mulut sampai adu cakar alias berantem fisik.
Selain sering bertengkar, style trip kami juga berbeda. Raditya
senang menghabiskan waktu di tempat yang santai dan tenang, seperti di pantai.
Sebaliknya, saya suka perjalanan menantang, seperti mendaki gunung, menuruni
lembah, dan menyelam di dalamnya perasaan (HALAH).
Saat pulang kampung, kakak saya bakalan membawa
koper, serta memakai baju dan sepatu keren. Sedangkan saya sudah cukup hepi
memakai jeans belel dan menyangklong ransel. Kelihatan perbedaannya kan? So, bagi saya, perjalanan bersama
Raditya, it’s a big no no!
Kedua, kalau jalan bersama Raditya saja
saya bakal mikir seribu kali, apalagi jalan bareng orang tua! Bagi ayah dan ibu,
napak tilas di Tanah Suci merupakan perjalanan ke luar negeri pertama. Orang
tua yang biasanya hidup dalam kultur Indonesia, akan melihat dunia luar dengan
segala perbedaannya. Sumpaah dehh, ini ribet banget!
Sebelum berangkat, ibu sudah menanyakan
dan mengkhawatirkan banyak hal gak penting, seperti “Nanti di Israel ada nasi
gak ya?”, “Kalau pas jalan capek, bisa istirahat gak?”, “Trus, bicaranya pakai
bahasa apa?”. Saya jawab saja: “Bicara pakai bahasa Tarzan, Ma!” Setelah itu
saya dicubit!
Terbersit perjalanan yang seharusnya asyik
dan kaya pengalaman bakalan ribet dengan hal
remeh-temeh yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan! Namun,
karena ini keinginan orang tua, apa salahnya (untuk kali ini saja!) saya
menurut? Lagian, kapan lagiii bisa ke
Timur Tengah??
Karena memang hobi vakansi, saya
menganggap perjalanan ini sebagai ziarah plus plus (seperti pijat plus-plus
hehee). Saya sebut “plus-plus” karena perjalanan ini tak melulu tentang berdoa
dan memuji nama Allah. Hampir setiap hari, selalu ada kesempatan mencoba
makanan khas, mencicipi anggur lokal, foto-foto, dan tentu saja berbelanja!
Saat ayah dan ibu sibuk berbelanja
perlengkapan doa, seperti Alkitab dan Rosario, kakak saya bakalan riwueh
mencari pedagang miras!! Gubraak!! Betapa perjalanan ini adalah campuran
kepentingan duniawi dan surgawi!
Berbekal
tekad kuat bahwa perjalanan ini akan berhasil, saya mencoba menjaga pikiran
positif. Selama perjalanan, sebisa mungkin kami membangun
toleransi dan komunikasi, menekan keinginan pribadi yang tidak sesuai dengan harapan
keluarga dan kelompok peziarahan, serta menciptakan kenangan yang baik dengan
tetap berusaha have fun!
Seiring waktu, saya semakin mengerti perjalanan
ini mendewasakan dan membuat kami menembus berbagai keterbatasan diri sendiri:
Raditya yang biasanya nggak pernah mau naik gunung, untuk pertama kalinya
(setelah dipaksa) akhirnya bersedia mendaki Gunung Sinai. Ibu yang takut
ketinggian, akhirnya mencoba naik kereta gantung di Gunung Hermon. Ayah yang
biasanya enggan menempuh perjalanan jauh akhirnya sukses menembus perjalan ke
Timur Tengah.
Kalau
saya gimana? Wah, banyak sekali pengalaman dan pelajaran hidup yang saya
dapatkan! Mulai dari jangan mudah panik, meskipun passport hilang di Israel dan
nyaris nggak bisa pulang ke Tanah Air, hingga pelajaran hidup bahwa mimpi dapat
diwujudkan, termasuk mimpi bervakansi di Timur Tengah!
Hingga perjalanan ini berakhir, saya
tetap pada kesimpulan: ngetrip bersama keluarga ke Timur Tengah?? Nggak
banget!! I’m not telling you it’s easy, but
it's worth it!
-
Keterangan foto: Pemandangan di tepi Danau Galilea, Israel, Desember 2015. Danau ini merupakan sumber air minum utama Bangsa Israel. Pemandangan yang indah membuat banyak keluarga sering berlibur di Danau Galilea.
Selama perjalanan, para peziarah diajak menembus hamparan padang gurun, melewati kebun-kebun kurma dan anggur, serta menyusuri kota-kota indah di Timur Tengah untuk mengenang perjalanan bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Di Israel dan Palestina, para peziarah mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Yesus.
Pada 2014, ayah dan ibu mendaftar perjalanan ziarah ke Mesir, Israel, Palestina, dan Jordan. Namun, niat itu batal terlaksana karena dua minggu menjelang keberangkatan, ayah sakit.
Pertama, saya sering berantem dengan kakak saya, Raditya Beken Wicaksana. Raditya itu model kakak penindas yang kemauannya harus selalu dituruti (Hahaha). Sementara saya, model adik manja dan merepotkan. Perbedaan sikap ini membuat hari-hari kami diisi adu mulut sampai adu cakar alias berantem fisik.
-
Keterangan foto: Pemandangan di tepi Danau Galilea, Israel, Desember 2015. Danau ini merupakan sumber air minum utama Bangsa Israel. Pemandangan yang indah membuat banyak keluarga sering berlibur di Danau Galilea.