MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM
20:16HI YOU!
NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM
NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM
NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM
SEE YOU THERE!
BEST REGARDS,
DENTY.
NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM
NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM
NOW THIS BLOG MOVE TO RAMBUTKRIWIL.COM
SEE YOU THERE!
BEST REGARDS,
DENTY.
Perjalanan Seru Sepanjang 2016
07:00
Beberapa
kali diingatkan berbagai kanal sosial media seperti
Timehop, Facebook, Path, dan aplikasi Photos di Iphone, mengenai foto-foto perjalanan yang sudah dilakukan sepanjang 2016. Melihat
foto-foto itu, mood saya langsung hepi. Enggak peduli kerjaan lagi numpuk,
nunggu wawancara narsum lama banget, Jakarta lagi macet banget atau panas
banget, setiap kali lihat foto-foto perjalanan perasaan jadi terbawa gembira. Jadi
pengen highlight nihh, perjalalanan seru sepanjang tahun lalu kemana saja…. Semoga semakin
banyak perjalanan sepanjang 2017 yaaaaa! Amin! Amin!
1. Papua Barat >> Sorong, Raja Ampat (18-22 Februari)
Salah satu keuntungan kerja sebagai jurnalis adalah bisa jalan-jalan tanpa mengeluarkan biaya! Sangat beruntung awal tahun lalu dapat kesempatan liputan ke Papua Barat untuk
Berangkat dari Jakarta dengan penerbangan malam. Di bandara, saya bertemu wartawan Tempo, Hussein Abri Yusuf. Begitu tahu kami satu tim, langsung kegirangan!! Hahahahaha…. Enaknya kalau tugas dinas ke luar kota bersama wartawan yang sudah dikenal adalah: enggak perlu jaim-jaim lagi. Bersama Hussein, kami langsung sepakat: pokoknya kita harus jalan-jalan dan foto-foto yaaa! Enggak peduli Papua Barat super panas bagaikan matahari ada tiga, kami mah hepi-hepi ajaa… :D
Liputan
bersama Pak Menteri hanya dua hari, karena pas dapat jatah libur, sisa dua hari
dimanfaatkan untuk jalan-jalan di Raja Ampat. Banyak
yang bilang kalau Raja Ampat itu supeerrr mahall?? Ahh macaa ciihhh??? Kapan-kapan saya ceritakan soal
perjalanan di Raja Ampat plus tips and trick supaya perjalanan murah yaa… Hehehee...
2. Flores >> Labuan Bajo, Pulau Komodo, Waerebo (1 – 10 Mei)
Wah! Saya
belum pernah nulis tentang perjalanan ini yaaa…, yang jelas banyak dramanyaa…
Hahahhaa… Saya jalan bareng wartawan Kompas, Theodora Agnes, dan (lagi-lagi)
wartawan Tempo, Hussein Abri Yusuf. Kami khusus mengambil jatah cuti untuk menyusuri pegunungan dan menyelam di laut yang membentang di Flores. Rencananya sih pengen sampai Sumbawa, tapi apa dayaa….
Waktu sepertinya tidak memungkinkan untuk terlalu lama meninggalkan Jakarta.
Meskipun jalan bertiga, di Flores kami bertemu dengan teman-teman baru (yang kami
sebut geng cumi >> I promise, di next blog
posting bakal diceritain!). Perjalanan ini menarik bukan semata karena keindahan alam atau keramahan penduduk lokal, buat saya, perjalanan ini mengajarkan mengenai
persoalan sosial, ekonomi, budaya, politik, masyarakat setempat mengingat
banyak pulau di Flores sudah dikuasai orang asing. Sedih yaaa,… kita sudah banyak mengunjungi tempat yang begitu indah sehingga tergerak memamerkan foto-foto di Instagram, tetapi pernah gak sih kita berpikir mengenai
kondisi masyarakat setempat? Apakah pariwisata sudah bisa menggerakkan
perekonomian masyarakat? Hmmm….
3. Lombok >> Mendaki Gunung Rinjani, Menyusuri Danau Sagara Anak (1-6 Juli)
Ini
merupakan perjalanan pertama dengan sahabat Rio Praditia dan Mas Andri.
Kami bertiga (plus Rembrandt) mengelola majalah traveling Backpackidea, tapi
selama ini gak pernah jalan barang. Dengan tujuan memurnikan makna
persahabatan, akhirnya kami menjelajah Gunung Rinjani… (Baca: Pelajaran Berarti di Bukit Penyesalan, Rinjani)
Petualangan
selama enam hari mendaki puncak Gunung Rinjani, hingga leyeh-leyeh di Danau
Sagara Anak. Perjalanan diwarnai drama karena bawaan saya banyak banget sampai
harus titip sebagian besar barang di pundak Rio. Hahhaahaa, tabahkan hatimu ya Rio!: D Setelah dari Rinjani saya
kembali ke Jakarta, sementara teman-teman saya melanjutkan perjalanan ke Pantai
Senggigi.
4. Mendaki Gunung Merbabu (25-28
Desember)
Dari
pertengahan tahun hingga akhir 2016, saya melakukan beberapa perjalanan pendek
ke Bali, Palembang, Blora, dan daerah-daerah di Jawa Barat. Tetapi, perjalanan itu
murni kerjaan… ditambah berbagai kehebohan karena padatnya jadwal liputan, ajang
paling besar dan cukup menyita waktu adalah Olimpiade Rio de Janeiro dan PON Jabar 2016. Sebagai
prajurit, saya dedikasi waktu dan tenaga untuk (seperti kata Jokowi) kerja… kerja… dan kerja…
Setelah events kelar, baru boleh cuti, horeee!!! Akhir
tahun, saya cuti ke Yogyakarta karena kakak saya menikah. Rencananya
sih cuti 14 hari, jadi pekan kedua bisa naik kereta ke Banyuwangi, lalu nyeberang laut menuju Bali, kemudian mendaki Gunung Agung. Tetapi, apa daya…
sebagai prajurit hanya dikasih libur 10 hari, jadi cuma bisa stay di Yogya dan sekitarnya saja.
Walaupun waktu terbatas, bukan berarti enggak bisa explore wisata dongg yaaa? Jadi, ketika teman SMA saya, Rhesa, ngajak naik Gunung Merbabu, saya langsung setuju! Pertama, karena lokasinya masih di Jawa Tengah, jadi enggak memakan waktu perjalanan cukup lama! Kedua, ini merupakan perjalanan memandang massa lalu... hahahah... Saya sudah pernah naik Gunung Merbabu, bersama mas mantan empat tahun lalu, tetapi enggak sampai puncak… kali ini saya putuskan kembali kembali ke Merbabu... Seperti menoleh ke masa lalu, perjalanan, meskipun dilakukan di tempat yang sama, selalu menawarkan sudut pandang berbeda. (Baca: Menerjang Badai di Puncak Gunung Merbabu).
-
Setelah events kelar, baru boleh cuti, horeee!!!
Walaupun waktu terbatas, bukan berarti enggak bisa explore wisata dongg yaaa? Jadi, ketika teman SMA saya, Rhesa, ngajak naik Gunung Merbabu, saya langsung setuju! Pertama, karena lokasinya masih di Jawa Tengah, jadi enggak memakan waktu perjalanan cukup lama! Kedua, ini merupakan perjalanan memandang massa lalu... hahahah... Saya sudah pernah naik Gunung Merbabu, bersama mas mantan empat tahun lalu, tetapi enggak sampai puncak… kali ini saya putuskan kembali kembali ke Merbabu... Seperti menoleh ke masa lalu, perjalanan, meskipun dilakukan di tempat yang sama, selalu menawarkan sudut pandang berbeda. (Baca: Menerjang Badai di Puncak Gunung Merbabu).
-
Demikianlaah
perjalan saya sepanjang 2016! Gak ada ke luar negeri karena sepanjang 2016
jadwal liputan memang padat bangetss… selain itu, tahun ini memang sengaja murni nabung
setelah 2015 tabungan saya terkuras untuk vakansi ke Timur Tengah. Semoga 2017
lebih banyak tempat yang didatangi, bertemu lebih banyak orang, menyelam lebih
dalam ke lautan...
Oya, btw
gimana liburan teman-teman? Pada kemana saja? Cerita doongg… dan pliss kasih
rekomendasi untuk perjalanan 2017, saya sih kepikiran naik Gunung Semeru,
menyelam di Wakatobi, dan city tour di Eropa… Maybe kita
bisa jalan bareng? Let me know yaaa…. :)
Jakarta, 01-07-2017
Jakarta, 01-07-2017
Menerjang Badai di Puncak Gunung Merbabu
00:31“Waspada! Jaga jarak dalam melangkah! Saling mengawasi agar tidak ada yang celaka!” teriak seorang pendaki, sambil menuruni puncak Kenteng Songo di Taman Nasional Gunung Merbabu.
Di Gunung Merbabu, hujan deras tumpah dari langit.
Mengguyur tubuh yang sudah basah dan menggigil. Angin bertiup kencang.
Menggoyang daun-daun dan ranting pohon. Aliran air membuat tanah
berlumpur. Jejak kaki hilang tersapu genangan.
Setelah menuruni lereng dan bukit, jalur perjalanan
terbelah. Di sebelah kiri, trek berupa turunan terjal dengan tebing berselimut
kabut pekat. Di kanan, jalur melebar dan memanjang seperti tak berujung.
“Kita ke mana?” tanya saya pada Ricky, teman seperjalanan.
“Kita ke mana?” tanya saya pada Ricky, teman seperjalanan.
Ricky memanjat bebatuan. Memandang jalur di sebelah
kiri yang berbahaya. “Kita tidak mungkin lewat sini. Terlalu riskan,” katanya.
“Kalau sebelah kanan bagaimana?” tanya saya, gusar
dan tak sabar.
“Saya tidak yakin. Itu sepertinya bukan jalur yang
kita lalui saat mendaki tadi,” jawab Ricky.
Perasaan campur aduk tak karuan. Pikiran mulai
membentur-bentur segala kemungkinan. Sepatu basah. Sarung tangan basah. Air hujan
menetes-netes dari jas plastik berwarna merah. “Bagaimana kalau kita tunggu
rombongan lain yang juga turun?” ujar Ricky.
Setelah menunggu beberapa saat, sambil menahan
dingin kantuk, kami bertemu rombongan lain yang bergerak menuruni bukit.
“Ada yang tahu jalan menuju Sabana Dua?”
“Ada yang tahu jalan menuju Sabana Dua?”
“Lurus saja! Sebelah kiri terlalu terjal, akan
sulit dilewati,” jawab salah satu pendaki. “Waspada! Jaga jarak dalam
melangkah! Saling mengawasi agar tak ada yang celaka!” ujarnya lagi.
Saya memandang teman-teman seperjalanan: Ricky,
Rhesa, Eva, dan Ivan. Di puncak gunung, kami satu jiwa dalam mengatasi kesulitan demi
kesulitan.
Begitu sampai di Sabana Dua, saya segera masuk ke
dalam tenda. Melindungi tubuh dari badai. Segera mengganti sarung
tangan dan kaos kaki, lalu menenggelamkan diri di dalam sleeping bag. Sesaat
menutup mata, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan tubuh dan pikiran yang terkuras
di dalam perjalanan.
Sekitar dua jam kemudian, aroma sosis
goreng membangunkan tubuh yang kelelahan. Hujan sudah reda. Menyisakan angin yang bertiup nyaris merubuhkan tenda.
“Ayo, sarapan…” kata Ricky.
Bagai kawanan domba, berkumpul di bawah terpal
untuk melahap roti gandum, sosis goreng, chicken nugget, dan sarden. Keterbatasan air membuat kawanan domba yang kelaparan ini tidak dapat menanak nasi atau merebus mi instan. Namun, pada saat kepepet, kreativitas mengolah makanan tidak terbatas. Roti dengan selai sarden menjadi pilihan.
“Nikmat,” kata Ivan, sambal melahap makanan.
“Nikmat,” kata Ivan, sambal melahap makanan.
_
Perjalanan mendaki puncak Gunung Merbabu berawal
tepat di hari Natal. Perjalanan selama tiga hari dua malam ini merupakan
perayaan menyambut pergantian tahun baru. Perayaan tanpa hiruk pikuk keramaian
kota. Tanpa kilatan cahaya dan kebisingan kendaraan di jalan raya. Perayaan
menyusuri pekatnya malam dan keindahan alam.
Bagi saya, perjalanan menyusuri Gunung Merbabu sebenarnya
bukan pertama kali. Empat tahun lalu, bersama mas mantan, saya pernah mendaki
Gunung Merbabu melalui jalur Wekas, Magelang. Kali ini, saya menempuh
petualangan melewati jalur Selo, Boyolali. Selain dua jalur ini, ada pula
perjalanan melalui Kopeng dan Suwanting.
Jalur Wekas terkenal pendek dan memiliki banyak
sumber air. Perjalanan dari basecamp menuju Pos Satu akan melewati rumah-rumah
dan ladang penduduk. Dari Pos Satu menuju Pos Dua menyusuri hutan. Di Pos Dua
ada lahan datar yang biasa dipakai untuk berkemah.
Setelah itu, tanah menanjak dan berkelok-kelok
menanti. Sensasi melipir tebing yang memacu detak jantung memberi tantangan. Sayangnya, sebelum sampai puncak, perjalanan berakhir. “Sudah
terlalu sore, waktunya tidak akan cukup mencapai puncak,” hanya kalimat itu
yang terucap dari si dia di masa lalu (Bwahahhaha :p).
Rasa penasaran mencapai puncak Gunung Merbabu
rupanya masih tersisa di relung hati. Seperti menoleh ke masa lalu, perjalanan, meskipun dilakukan di tempat yang sama, selalu menawarkan sudut pandang berbeda.
Bersama The Squad, kali ini, perjalanan bermula dari jalur Selo. Berbeda dengan Wekas, perjalanan dari jalur Selo terkenal
lebih mudah karena treknya panjang dan relatif lebih landai. Tantangannya, di jalur
Selo tidak ada sumber air. Pendaki harus membawa ekstra air untuk bertahan
hidup.
Berjalan dari basecamp, saya melewati arena
perkemahan yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Perjalanan banyak melintasi
bonus (sebutan jalur landai) di arena hutan. Selepas Pos Satu, jalur mulai menanjak
dan berkelok-kelok. Bersama rombongan, saya berkemah di Pos Dua. Saat mendirikan tenda, gerimis turun membasahi rerumputan.
Keesokan harinya, perjalanan berlanjut melewati
Tikungan Macan dan Pos Tiga (Batu Tulis). Arena ini terbuka dan berdebu. Sejumlah pendaki beristirahat sambil memandang keindahan Gunung Merapi yang berdiri gagah berhadap-hadapan dengan Gunung Merbabu. Di sebelah kiri dan kanan, bukit dan lereng pegunungan berwarna kehijauan. Langit berwarna biru terang dengan gerombolan awan putih bergerak pelan. Saat cuaca cerah, Gunung Sumbing, Sindoro, dan Slamet juga terlihat.
Banyak yang bilang, tidak perlu mencapai pancake Gunung Merbabu untuk menikmati alam. Keindahan tidak selalu ditawarkan di puncak tujuan, tetapi ada dalam setiap kesulitan dan langkah-langkah perjalanan.
Setelah Pos Tiga, jalur menyempit dan berbatu menuju Sabana Satu.
Trek semakin menantang memasuki Sabana Dua. Di tempat ini, hamparan rumput yang luas menjadi tempat para pendaki berleyeh-leyeh menikmati sore.
Begitu sampai tiba di sana, matahari mulai bergerak turun. Sejumlah pendaki mendirikan tenda sebelum hari bertambah gelap.
Begitu sampai tiba di sana, matahari mulai bergerak turun. Sejumlah pendaki mendirikan tenda sebelum hari bertambah gelap.
Di bawah temaram lampu tenda, kawanan domba
berkumpul. Masing-masing menggenggam segelas minuman hangat. Kopi. Cokelat. Jahe. “Bagaimana kalau besok hujan, apakah kita jadi ke puncak?”
“Kalau hujan, lebih baik kita berteduh dulu di
tenda karena tidak mungkin melihat matahari terbit. Kalau cuaca cerah, kita
bergerak. Tidak masalah apabila terlambat melihat sunrise di puncak, karena di perjalanan
kita tetap bisa menikmati Sang Surya,” tutur Ricky.
Pukul 22.00, saya membenamkan diri dalam selimut tidur. Menutup
kelopak mata. Dan membisikkan doa agar esok langit cerah.
Setelah beberapa jam terlelap, Ricky keluar tenda. “Bangun,
bangun. Di luar bintang-bintang bercahaya,” katanya.
Ivan, Eva, Rhesa, dan saya segera mengeluarkan
kepala dari dalam tenda. Memandang langit hitam dengan butiran kemilau bintang.
Pukul 03.30, rombongan mulai merambat bergerak menuju puncak. Tanjakan yang terjal dan curam dilalui selangkah demi selangkah.
Mendekati puncak, kabut bergerak meniupkan udara dingin. Gerimis mulai turun, membasahi jaket dan celana. Semakin lama, hujan semakin deras. Angin bertiup kencang. Badai mulai mengamuk. Jalan kian licin dan terjal. "Kita tertipu langit cerah. Ternyata, malah hujan," kata seorang pendaki.
Di puncak Kentheng Songo (3.142 mdpl), yang terlihat hanya langit putih. Tanaman tertutup kabut. Tanah berlumpur. Angin menggerakkan dedaunan. Kawanan pendaki bersembunyi di balik batu atau pohon. Melindungi tubuh dari badai yang mengamuk. Matahari terbit, yang dinantikan, tertutup awan.
Beberapa orang kecewa, cita-cita menatap Sang Surya di balik jendela puncak Gunung Merbabu tak terlaksana. Sebagian lainnya, cukup bersyukur dapat selamat dari badai yang mengamuk.
Memiliki tujuan dalam perjalanan memang perlu.
Tetapi, keindahan tidak ada di puncak. Keindahan ditemui dalam setiap langkah perjalanan mengatasi tantangan dan segala kesulitan.
Jakarta, 30 Desember 2016
Catt: foto paling atas dimuat harian Kompas (29/12)
Catt: foto paling atas dimuat harian Kompas (29/12)