Menelusuri Via Dolorosa (2): Keberagaman di Tanah Terjanji
06:00
Seperti yang kita tahu, kota Yerusalem penting bagi tiga
agama samawi: Yahudi, Kristen, dan
Islam. Selama
ribuan tahun, kota itu sudah puluhan kali dihancurkan, dikepung, diserang, dan
dikuasai ulang. Meski
tidak diakui dunia internasional, Yerusalem diklaim sebagai ibu kota Israel.
Oleh orang Palestina, kota itu juga dianggap sebagai ibu kota negara.
Sepanjang perjalanan
menelusuri Via Dolorosa, saya berjumpa masyarakat yang berasal dari beragam
latar belakang. Misalnya saja, saya bertemu belasan perempuan Islam. Mereka
menjemur pakaian, berbelanja sayuran, dan menemani anak-anak bermain. Aktivitas
keseharian kelompok Islam seolah tak terganggu dengan kegiatan rohani kelompok
Kristen dan Yahudi. Umat Islam yang hidup di Yerusalem adalah orang Palestina
yang sudah turun temurun tinggal di sana.
Saya juga bertemu sejumlah
pria Yahudi. Mereka mengenakan pakaian tradisional berupa jubah dan celana
panjang hitam, sepatu hitam, serta topi lebar berbulu. Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, menjelaskan, ada
dua tipe orang Yahudi yang hidup di Israel. Sebagian adalah orang Yahudi
Ortodoks (tradisional), sebagian lain Yahudi modern.
Yahudi Ortodoks hidup berdasarkan hukum taurat. Mereka
mempercayai satu Tuhan yaitu “YHWH” yang artinya Yang Maha Esa. Keluarga Yahudi
Ortodoks biasanya memiliki banyak anak dan tidak menikah dengan kelompok lain
di luar kaumnya. Sedangkan Yahudi Modern biasanya lebih liberal, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan penemuan-penemuan ilmiah.
Perbedaan keduanya mudah terlihat dari penampilan fisik
mereka. Yahudi Ortodoks biasanya mengenakan pakaian adat berupa jubah hitam
dengan topi lebar. Semakin tebal dan lebar topi yang dikenakan, maka orang itu
memiliki posisi penting di masyarakat. Yahudi modern, biasanya memakai baju
biasa dengan kupluk (skullcap) kecil
khas Yahudi.
Keberadaan orang-orang Kristen di Yerusalem tak kalah unik. Mereka
berasal dari berbagai bangsa, mulai dari India, Filipina, Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah. Meski
berbeda-beda latar belakang, umat Kristen berbaur menjadi satu dalam perjalanan
iman menuju Bukit Golgota.
Sekitar pukul 17.00,
rombongan melewati jalan yang semakin menanjak. Jalan itu memasuki pusat pasar
yang berkelok-kelok. Di lokasi itu, Yesus sungguh kepayahan. Menurut tradisi,
di sana Yesus jatuh untuk kedua kalinya. Di perhentian itu kini didirikan
sebuah kapel kecil milik biarawan OFM. Di kapel itu, saya mengikuti misa yang
dipimpin Romo Kornelis Dino Hardin.
Dalam kotbahnya, Romo
Dino mengatakan bahwa jalan derita yang dialami Yesus adalah perjalanan menuju
kehendak Ilahi. Perjalanan itu bukan semata-mata kesengsaraan, tetapi bukti
cinta Allah kepada umat manusia. “Kita dilahirkan dengan sebuah rencana Allah.
Seperti yang dialami Yesus, kehidupan yang kita jalani merupakan perjalanan
menuju rencana itu,” kata Romo Dino.
Saya menundukan kepala sambil mendengar khotbah Romo Dino. Saya teringat betapa seringnya saya mengeluh, mengumpat, marah, bersedih.... karena saya kira Tuhan tidak berpihak pada saya. Padahal, apa yang saya alami dalam hidup sehari-hari, baik suka maupun duka, adalah perjalanan menuju sebuah rencana.... Hidup sehari-hari, itulah perjalanan derita yang sesungguhnya.
Seusai misa, Jalan Salib dilanjutkan. Kali ini saya masuk ke sebuah pintu
kecil yang mengarah ke dalam Gereja Koptik. Begitu keluar dari gereja, saya
sampai pada halaman megah yang ramai dengan peziarah. Halaman itu berada dalam
kompleks Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre).
Gereja
Makam Kudus berdiri di atas lahan yang disebut Golgota, bukit yang menjadi
tempat penyaliban Yesus. Meski namanya Bukit Golgota, kini bentuknya sudah tidak lagi berupa bukit! Bukit Golgota sekarang menjadi kawasan dengan banyak bangunana-bangunan gereja.
Di Bukit Golgota, Ratu Helena, ibunda dari Kaisar
Konstantinus I, pernah datang dan berziarah. Dia mendorong Konstantinus
menyelamatkan tempat-tempat suci dengan membangun gereja di atasnya. Selain membangun Gereja Makam Kudus,
Helena juga mendorong pembangunan Gereja Kelahiran (Church of The Nativity) di Betlehem.
Gereja Makam Kudus
dibangun di atas situs Golgota yang dipercaya sebagai tempat Yesus disalibkan
dan dikuburkan. Walid menjelaskan, semua komunitas Kristen, percaya gereja
dibangun di atas makam Yesus. “Mulai dari Patriarkat Ortodok Yunani, Biara
Franciskan dari Gereja Katolik Roma, Patriarkat Armenia, hingga Kristen
Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah, seratus persen percaya gereja ini asli
di atas makam Yesus,” kata dia.
Pertumpahan darah pun
terjadi di antara umat Kristen. Mereka berebut menguasai Gereja Makam Kudus.
Pada tahun 638, Patriark Yerusalem Sophronius menyerahkan semua kunci kota
kepada pasukan Khalifah Umar ibn al Khattab yang merebut Yerusalem. Khalifah
Umar lalu menyerahkan kunci gereja Makam Kudus kepada keluarga Muslim. “Karena
kunci dipegang orang Muslim, jadi lebih aman. Tidak ada perang,” kata Walid,
sambil terkekeh.
Kunci gereja kini
dipegang keturunan keluarga Nusseibeh dan Joudeh. Kedua keluarga Muslim itu
bertugas membuka pintu gereja saat fajar menyingsing, dan menutup gereja saat
malam datang. Meski kunci pintu gereja dipegang umat Muslim, tidak berarti
mereka menguasai Gereja Makam Kudus. Gereja itu dikelola bersama-sama antara
Gereja Etiopia, Koptik Mesir, dan Suriah.
..... bersambung.
Kisah sebelumnya: Menelusuri Via Dolorosa (1): Inikah Jalan Sengsara itu?
(Denty Piawai Nastitie)