“Semangat Luhur Anak-anak Randusari”
21:06
Sudah beberapa hari
belakangan dusun Randusari, di kaki gunung Merapi, diguyur hujan deras. Hujan
deras ini tentu meresahkan masyarakat. Trauma akan banjir lahar dingin akibat
erupsi Merapi masih berbekas di ingatan. Hujan seperti ini, selain membuat
volume air sungai bertambah, juga akan membuat aktifitas masyarakat di luar
rumah menjadi terhalang.
Namun cuaca yang
kurang bersahabat itu tidak menyurutkan niat 8 orang mahasiswa/i dari
Universitas Sanata Dharma untuk melaksanakan agenda kegiatan KKN (Kuliah Kerja
Nyata). Selama 27 hari tinggal di dusun Randusari, sejak tanggal 4 hingga 31
Januari 2013, mahasiswa/i KKN USD angkatan XLV Kelompok 40 memiliki berbagai agenda
kemasyarakatan, khususnya agenda di sektor perikanan.
Beberapa hari menjelang usainya tugas KKN, kami memiliki sebuah agenda yang cukup berbeda. Agenda ini melibatkan kerjasama dan kreatifitas anak-anak. Tentu saja, seluruh mahasiswa KKN berharap kondisi cuaca yang buruk tidak mematahkan semangat anak-anak untuk tetap berkarya. Agenda itu adalah "Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari”.
Beberapa hari menjelang usainya tugas KKN, kami memiliki sebuah agenda yang cukup berbeda. Agenda ini melibatkan kerjasama dan kreatifitas anak-anak. Tentu saja, seluruh mahasiswa KKN berharap kondisi cuaca yang buruk tidak mematahkan semangat anak-anak untuk tetap berkarya. Agenda itu adalah "Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari”.
Jathilan, atau yang
juga dikenal dengan nama Jaran Kepang, merupakan tarian yang mempertontonkan
kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda. Dalam
pertunjukan ini para penari menggunakan anyaman bambu sebagai jaran (kuda)-nya.
“Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari” menjadi berbeda karena tarian ini
dibawakan oleh anak-anak yang mayoritas masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Acara diadakan pada hari Sabtu, 27 Januari
2013, di halaman rumah Bu Tunik, orang tua salah seorang penari Jathilan.
Seperti biasa,
langit pagi itu diliputi awan mendung. Anak-anak tidak peduli. Satu per-satu dari
mereka datang ke Pondokan mahasiswa di Rumah Bapak Suharyono, Kepala Dukuh
Randusari. Sambil berteriak, mereka memanggil nama anggota KKN. Kata mereka,
"Ayo Mas, Mbak, kita jadi jathilan nggak?"
"Jadi
dong,..." jawab Awang, KORMADUS (Koordinator Mahasiswa Dusun). "Jam 2
ya!" lanjutnya lagi. Anak-anak langsung terlihat antusias.
Setelah melaksanakan
program pembuatan kolam ikan pada pagi harinya, anggota KKN lalu mulai membagi
tugas untuk mempersiapkan Jathilan. Helen dan We menempelkan poster acara, Sesi
dan Astin membeli makanan ringan dan berbagai kebutuhan untuk 'sajen',
sedangkan Awang, Putri, dan penulis mempersiapkan berbagai kebutuhan di TKP
(Tempat Kejadian Perkara). Sayang, hari itu Rini, salah satu anggota KKN,
sedang sakit sehingga tidak bisa ikut serta.
Sekitar pukul 11
siang, seluruh anggota KKN bersama anak-anak mulai mempersiapkan tempat
Jathilan. Kami membabat pohon bambu, memotong-motongnya menjadi beberapa
bagian, lalu mengikatnya di sekitar halaman rumah dengan menggunakan tali rafia.
Di area inilah anak-anak akan mementaskan Jathilan-nya. Tak lupa kami memasang
'sajen' di beberapa sudut halaman pementasan. Sambil berdoa, kami berharap
pementasan dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada anak-anak yang terluka.
Mendekati pukul 2
siang, persiapan area sudah hampir selesai. Sebagian anak kemudian meletakan
anyaman bambu yang disebut Jaran Kepang di tengah area. Persiapan dilanjutkan
dengan mengenakan kostum berupa celana hitam sebatas lutut, kain batik sebagai
bawahan, gelang tangan dan kaki, selendang pinggang (sampur), dan kain ikat kepala
(udheng). Anak-anak ini membagi karakter menjadi prajurit, dan sebagian lainnya
menjadi tokoh Gondoruwo (setan) atau Barongan (singa). Khusus untuk dua
tokoh terakhir, mereka menggunakan topeng sebagi tambahan kostumnya.
Sebelum pukul 2
siang, para penonton yang terdiri dari anak-anak dan dewasa mulai berdatangan
untuk melihat Jathilan. Hujan ringan yang turun membasahi tanah tidak
menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan pertunjukan. Tepat pukul 2 siang,
anak-anak memulai aksi. Anak-anak yang berjumlah sekitar 10 orang ini menari
secara terus-menerus sambil berputar-putar hingga satu-per-satu dari mereka
mulai mengalami trance atau semacam kesurupan. Para penari pun mulai
mementaskan adegan-adegan yang kelihatan tidak masuk akal seperti mengupas buah
kelapa dengan gigi. Karena ini adalah Jathilan Anak, tentu saja adegan-adegan
tadi sudah direncanakan sebelumnya sehingga tidak berbahaya untuk dipentaskan.
Para penonton
terhibur melihat tarian-tarian dan adegan-adegan selama pementasan. Sesekali
mereka tertawa atau memberi tepuk tangan. Pukul 4 sore, pertunjukan selesai. Terlihat
aura kepuasan dari wajah penonton dan penari yang baru saja pentas. Kerjakeras para
penari terbayar lunas dengan suksesnya pertunjukan.
Anak-anak ini memang
udah sejak lama berlatih tari Jathilan. Mereka berlatih dengan cara menonton CD
pertunjukan dari kelompok-kelompok Jathilan yang sudah lebih dulu eksis. Mereka
berlatih tanpa guru/pelatih khusus. Bahkan, anak-anak ini sendiri yang
mengusulkan untuk membuat pagelaran Jathilan di dusun Randusari sebagai salah
satu agenda KKN. Bu Tunik, ibu dari salah seorang penari, mengatakan, “Sebagi
orang tua, saya sangat bangga pada semangat anak-anak…”
Bu Tunik lalu
bercerita, kadang kala anak-anak ini mendapat job untuk pentas. "Uang
hasil pementasan (yang tak seberapa), dipakai untuk membeli jarik (kain batik)
atau alat-alat kebutuhan pentas lainnya." Sebuah usaha dan kerjakeras dari anak-anak yang perlu
diapresiasi. "Sayang, perhatian dari orang dewasa dalam segi fasilitas
untuk anak-anak masih terasa kurang," lanjutnya menyampaikan keprihatinan.
Seperti yang kita
tahu, Jathilan merupakan tarian yang berusia paling tua di pulau Jawa. Anak-anak
Randusari memiliki potensi besar dalam upaya mempertahankan kelestarian budaya
Bangsa. Usaha anak-anak untuk mepertunjukan seni tradisi tidak hanya berkesan
bagi para penonton, namun juga meninggalkan jejak kebanggaan di hati mahasiswa
KKN. Semangat anak-anak ini mengajarkan kita untuk terus menghidupi peninggalan
leluhur, tidak peduli dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki. Sebuah
semangat luhur dari anak-anak Randusari, di kaki Gunung Merapi, yang patut
ditiru bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Penulis:
Denty Piawai
Nastitie
Mahasiswi Universitas Sanata Dharma, program
pendidikan Sastra Inggris
Phone: 08176303009 | Email: denty_nastitie@yahoo.com
loh kwe ra melu njathil? padal everidei kwe trance trus to ~(˘⌣˘)~
ReplyDelete