Ziarah Leluhur Dan Makna Sebuah Kehidupan
13:57Pagi-pagi benar saya sudah dibangunkan warga, “Ayo teh, ikut ziarah leluhur.”
Angin dingin berhembus dari sela-sela jendela. Dingin yang
membekukan tulang belulang hingga ulu hati. Saya merapatkan selimut, bergulung
sesaat di atas matras tipis yang saya bawa dari Jakarta. Jari tangan dan kaki
seperti kaku-kaku. Dari balik bilik kamar bambu ini saya mendengar gerimis jatuh membasahi tanah. Tes… tes… suaranya mendamaikan jiwa.
Perlu waktu beberapa saat sebelum saya betul-betul membuka
mata dan melemaskan pergelangan kaki dan tangan. “Jauh nggak?” tanya saya.
“Ada dua tempat, yang jauh dan dekat. Boleh pilih yang
mana.”
Sambil menguap saya menjawab, “Ah, saya yang dekat saja!” Bukankah jauh atau dekat keduanya akan berakhir pada satu destinasi yang sama,
satu akhir yang sama, yakni sebuah pemakaman yang dipercaya sebagai makam leluhur.
Saya kemudian bangun, membuka jendela… dan mengucapkan, "Selamat pagi Sindangbarang!"
Sindangbarang merupakan sebuah desa yang terletak di Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Di tempat ini, setiap tahunnya diadakan acara adat Serentaun, pesta panen raya masyarakat Sunda Ladang. Acara ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang mereka peroleh.
Serentaun sudah berlangsung sejak jaman kerajaan Pajajaran. Acara yang juga dimaksudkan sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda ini sempat berhenti selama 36 tahun, sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh masyarakat Sindangbarang dan dijadikan sebagai agenda tahunan.
Setiap tahunnya, pada bulan Muharam, selama 7 hari berturut-turut, berbagai ritual dan penampilan kesenian traditional diselenggarakan dalam acara Serentaun. Acara yang dimaksudkan untuk ngauri-uri budaya leluhur itu diantaranya adalah nandur (menanam padi), angklung gubrag (penampilan kelompok angklung yang dimainkan oleh wanita setempat), ngalalauk (lomba menangkap ikan di sungai), dan tentu saja ziarah leluhur.
Pagi itu, warga berkumpul di depan rumah ketua adat dengan membawa berbagai persembahan. Sambil menabuh alat musik traditional, warga kemudian berjalan menyusuri ladang dan area persawahan menuju ke makam leluhur yang letaknya tak jauh dari desa. Warga berpindah dari satu pemakaman menuju pemakaman lainnya dalam iring-iringan kelompok, nyaris seperti karnaval namun dalam keheningan yang berbeda.
Agak siang, warga membagi diri menjadi dua kelompok untuk berziarah ke makam yang letaknya lebih jauh. Saya memilih bergabung dengan kelompok pertama, karena menurut warga, letak makam ini lebih dekat dibandingkan makam yang dituju oleh kelompok kedua.
Saya kemudian bangun, membuka jendela… dan mengucapkan, "Selamat pagi Sindangbarang!"
Sindangbarang merupakan sebuah desa yang terletak di Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Di tempat ini, setiap tahunnya diadakan acara adat Serentaun, pesta panen raya masyarakat Sunda Ladang. Acara ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang mereka peroleh.
Serentaun sudah berlangsung sejak jaman kerajaan Pajajaran. Acara yang juga dimaksudkan sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda ini sempat berhenti selama 36 tahun, sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh masyarakat Sindangbarang dan dijadikan sebagai agenda tahunan.
Setiap tahunnya, pada bulan Muharam, selama 7 hari berturut-turut, berbagai ritual dan penampilan kesenian traditional diselenggarakan dalam acara Serentaun. Acara yang dimaksudkan untuk ngauri-uri budaya leluhur itu diantaranya adalah nandur (menanam padi), angklung gubrag (penampilan kelompok angklung yang dimainkan oleh wanita setempat), ngalalauk (lomba menangkap ikan di sungai), dan tentu saja ziarah leluhur.
Pagi itu, warga berkumpul di depan rumah ketua adat dengan membawa berbagai persembahan. Sambil menabuh alat musik traditional, warga kemudian berjalan menyusuri ladang dan area persawahan menuju ke makam leluhur yang letaknya tak jauh dari desa. Warga berpindah dari satu pemakaman menuju pemakaman lainnya dalam iring-iringan kelompok, nyaris seperti karnaval namun dalam keheningan yang berbeda.
Agak siang, warga membagi diri menjadi dua kelompok untuk berziarah ke makam yang letaknya lebih jauh. Saya memilih bergabung dengan kelompok pertama, karena menurut warga, letak makam ini lebih dekat dibandingkan makam yang dituju oleh kelompok kedua.
Namun, hari itu saya lupa menanyakan satu hal kepada warga. Bukan perihal jarak atau
waktu yang akan kami tempuh, melainkan
soal medan yang akan kami lalui. Bagaimana medannya? Apakah berat ataukah ringan?
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut kepada warga, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Glek, saya menelan ludah, lalu mengeringkan keringat di pelipis mata. Hutan tropis dan jalan setapak seakan mengucapkan salam pada saya, "Selamat datang di Gunung Salak!"
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut kepada warga, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Glek, saya menelan ludah, lalu mengeringkan keringat di pelipis mata. Hutan tropis dan jalan setapak seakan mengucapkan salam pada saya, "Selamat datang di Gunung Salak!"
Gunung Salak dan Makna Kehidupan
Langkah demi langkah saya lalui. Sudah hampir dua jam saya mendaki. Rasanya ingin menangis.
Dimana akhir yang dinanti? Sementara kaos semakin basah karena hujan yang
semakin deras dan peluh yang menjadi satu.
Saya menoleh ke belakang. Warga tersenyum. Mereka tahu
penderitaan saya. Mereka tahu mungkin saja saya tak sanggup berjalan lagi untuk
mencapai akhir yang dinanti. Namun, dengan kesabaran, warga setia menemani. Dari pancaran matanya terlihat bahwa mereka percaya kami akan sampai di atas bersama-sama.
“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau medannya curam begini?”
keluh saya.
Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan berarti tak berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan berarti tak berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
“Kalau dikasih tau, nanti teteh malah nggak sampai sini,” jawab warga sambil terkekeh.
Tubuh saya semakin kesakitan. Beberapa kali saya terpeleset.
Kaos putih saya pun sudah berubah warna menjadi kecoklatan serupa dengan
lumpur yang membalut luka dan lecet di tangan dan kaki.
Setelah jalan, mendaki, terpeleset, jatuh, bangkit, jalan lagi,
terpleset lagi, berpegangan pada akar dan rerumputan, akhirnya saya sampai pada
sebuah akhir yang dinanti. Makam leluhur!
Bersama warga, kami bersujud. Di hadapan kami terlihat segumpal tanah yang dipercaya sebagai makam leluhur. Makam ini dikelilingi pohon-pohon yang tinggi menjulang. Saya menengadah. Hujan turun membasahi tanah. Tanah yang dipercaya sebagai leluhur, nenek moyang, asal muasal warga Sindangbarang.
Doa-doa dilagukan. Alam sungguh agung, Tuhan maha besar. Di
hadapan alam, kami melihat keindahan maharencana. Keindahan tak
terbandingkan. Hujan dan kabut turun menyelimuti alam dan manusia, memberi kesan mistis, seolah leluhur
sungguh hadir di antara kami.
Di antara derai hujan yang turun membasahi tanah, saya merasakan kehadiran leluhur seperti ingin menyapa kami, anak-cucu-nya yang berjuang mendaki gunung demi bertemu dengannya.
Saya langsung menyesali keluhan-keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, betapa kita, manusia, seringkali alfa dalam mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar makna sebuah kehidupan. Kehidupan sejatinya adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada akhir yang dinanti.
Di antara derai hujan yang turun membasahi tanah, saya merasakan kehadiran leluhur seperti ingin menyapa kami, anak-cucu-nya yang berjuang mendaki gunung demi bertemu dengannya.
Saya langsung menyesali keluhan-keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, betapa kita, manusia, seringkali alfa dalam mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar makna sebuah kehidupan. Kehidupan sejatinya adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada akhir yang dinanti.
(DPN, 2013)
Ps: Tulisan ini pernah dimuat dalam http://www.greensands.info/ dalam versi yang lebih pendek untuk keperluan lomba.
mantapp.... kenapa akhirnya lu niat melengkapi ini? keknya sudah pernah gw baca sejak zaman multply deh.. ini yang pergi bareng Ferry Latief itu kan?
ReplyDeletedulu nggak ada tulisannya cuy.
Delete