#SerbaserbiPilpres: Saat Mahasiswa Berbicara
03:00
Prolog: Selama kurun waktu sembilan minggu meliput pemilu presiden 2014 (dari 12 Mei - 14 Juli), saya melihat banyak orang sudah urun saran, urun rembug, urun tangan, dan beberapa urun kisruh untuk bangsa ini. Berbagai "urun" itu membuat sembilan minggu terasa singkat dan penuh warna.
Warna itu bisa kita lihat dari, misalnya, ribuan orang yang tidak saling mengenal berkumpul menjadi satu di Gelora Bung Karno untuk menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden tertentu. Mereka yang saling kenal justru memutuskan unfollow, unfriend, atau leave group karena membaca komentar-komentar yang terasa menyakitkan muncul di timeline media sosial.
Belum lagi warna yang muncul karena "tokoh ini mendukung itu, padahal biasanya begini atau biasanya begitu."..... Sembilan minggu mungkin tidak berarti banyak bagi sebagian orang. Bagi saya, dalam sembilan minggi kita telah melewati satu proses demokrasi sebagai bangsa yang satu IndONEnesia.....
Melalui #SerbaserbiPilpres saya ingin membagikan hasil foto-foto dan kisah-kisah menarik yang saya jumpai selama meliput pilpres. Beberapa kisah sudah dimuat di harian Kompas. Beberapa mungkin belum, atau tidak sama sekali, karena selain keterbatasan ruang, mungkin juga karena kurang pas dimuat di sana.
Sebagian kisah ini tidak penting, bikin geleng-geleng kepala, atau tertawa kecil. Semua akan menjadi pengingat dan pewarna dalam langkah demokrasi ke depan.
Salam demokrasi! :)
##
Cerita 1. Saat Mahasiswa Berbicara.
Untuk pertama kali saya meliput unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (12/6). Berdasarkan surat undangan yang saya terima melalui sms, unjuk rasa akan dihadiri ratusan mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah AS tidak intervensi pemilu presiden kita.
Oke, saya membayangkan ratusan mahasiswa itu benar-benar hadir. Terbayang akan ada tulisan ficer menarik bagaimana mahasiswa-mahasiswa itu mempersiapkan materi unjuk rasa. Saya pun datang satu jam lebih awal, pukul 09.00, dari jam acara yang seharusnya dimulai pukul 10.00.
Sesampainya di depan kedubes AS, loh kok sepi.... mana mahasiswanya? hmmm..... Jalan ke Monas, tidak ada tanda-tanda ratusan mahasiswa datang. Tanya ke petugas jaga kedubes, mereka malah tanya balik, "emang mau ada unjuk rasa Mbak?" lah kok.......
Setelah 15 menit berkeliling.... saya lihat puluhan mahasiswa, eh apa belasan ya, sedang menulis materi unjuk rasa di atas kertas poster tidak jauh dari kantor kedubes. Yaela bro, dikit amat jumlah mahasiswa yang ikut unjuk rasa? kata saya dalam hati.
Saya berpikir positif, mungkin ratusan mahasiswa yang lain belum datang. Maklum, mahasiswa, biasa ngaret. Saya pun meninggalkan mahasiswa itu untuk makan soto. Hehehe. Daripada nanti unjuk rasa sudah mulai dan saya kelaperan. :p :p
Saya tinggal untuk makan soto di dekat monas sekitar 20 menit. Kembali ke depan kantor kedubes, tetap saja sepi...... hmmmfhhh. allright, fine. Tidak penting kuantitasnya, yang penting kualitasnya.
Saya lihat mahasiswa itu berorasi (foto pertama). Jumlah mereka sekitar 20-30 orang. Sekitar 10 menit saya memotret (saat itu unjuk rasa baru saja mulai), kemudian saya mewawancarai koordinator unjuk rasa.
Saya: Kalian mahasiswa dari mana saja?
Mahasiswa: Macem-macem. berbeda-beda.
Saya: Apa tujuan unjuk rasa ini?
Mahasiswa: Kami ingin AS tidak intervensi pemilu presiden.
Saya: Apakah ada indikasi AS mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lalu kenapa meminta tidak ada intervensi?
Mahasiswa: Hmmm.... Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik.
Saya: Lalu?
Mahasiswa: Pengetahuan kami masih terbatas, yang kami tahu intervensi itu akan merusak demokrasi.
Saya: *ziingg* Lalu menurut kalian dalam bentuk apa AS akan mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lah kok, tidak tahu bagaimana bisa mengawasi?
Mahasiswa: Hmmm.... Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik. Yang jelas jangan sampai deh AS intervensi.
Saya: *ziiing* ...
5 menit kemudian, demo selesai.
Mahasiswa dan polisi saling bersalaman. Beberapa mahasiswa mencium tangan pak polisi. Beberapa polisi merangkul pundak mahasiswa.
Personally, saya mendukung gerakan mahasiswa. Tentu kita masih ingat perjuangan-perjuangan aktivis 98 yang berhasil menggulirkan semangat reformasi ke negera ini. Saya juga salut dengan kreatifitas mahasiswa UI yang membuat kontrak politik dengan capres-cawapres untuk mengawasi jalannya pemerintahan ke depan.
Tetapi, mbok yao..... untuk mahasiswa-mahasiswa masa kini lainnya, sebaiknya disiapkan dulu materinya sebelum berunjuk rasa.... Tidak bisa dengan alasan "kami kan masih mahasiswa" lalu melupakan daya pikir kritis.
Salam mahasiswa!
Warna itu bisa kita lihat dari, misalnya, ribuan orang yang tidak saling mengenal berkumpul menjadi satu di Gelora Bung Karno untuk menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden tertentu. Mereka yang saling kenal justru memutuskan unfollow, unfriend, atau leave group karena membaca komentar-komentar yang terasa menyakitkan muncul di timeline media sosial.
Belum lagi warna yang muncul karena "tokoh ini mendukung itu, padahal biasanya begini atau biasanya begitu."..... Sembilan minggu mungkin tidak berarti banyak bagi sebagian orang. Bagi saya, dalam sembilan minggi kita telah melewati satu proses demokrasi sebagai bangsa yang satu IndONEnesia.....
Melalui #SerbaserbiPilpres saya ingin membagikan hasil foto-foto dan kisah-kisah menarik yang saya jumpai selama meliput pilpres. Beberapa kisah sudah dimuat di harian Kompas. Beberapa mungkin belum, atau tidak sama sekali, karena selain keterbatasan ruang, mungkin juga karena kurang pas dimuat di sana.
Sebagian kisah ini tidak penting, bikin geleng-geleng kepala, atau tertawa kecil. Semua akan menjadi pengingat dan pewarna dalam langkah demokrasi ke depan.
Salam demokrasi! :)
##
Cerita 1. Saat Mahasiswa Berbicara.
![]() | |
Front Mahasiswa Indonesia Raya berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (12/6). Mereka minta AS tidak intervensi pemilu presiden 2014. |
Oke, saya membayangkan ratusan mahasiswa itu benar-benar hadir. Terbayang akan ada tulisan ficer menarik bagaimana mahasiswa-mahasiswa itu mempersiapkan materi unjuk rasa. Saya pun datang satu jam lebih awal, pukul 09.00, dari jam acara yang seharusnya dimulai pukul 10.00.
Sesampainya di depan kedubes AS, loh kok sepi.... mana mahasiswanya? hmmm..... Jalan ke Monas, tidak ada tanda-tanda ratusan mahasiswa datang. Tanya ke petugas jaga kedubes, mereka malah tanya balik, "emang mau ada unjuk rasa Mbak?" lah kok.......
Setelah 15 menit berkeliling.... saya lihat puluhan mahasiswa, eh apa belasan ya, sedang menulis materi unjuk rasa di atas kertas poster tidak jauh dari kantor kedubes. Yaela bro, dikit amat jumlah mahasiswa yang ikut unjuk rasa? kata saya dalam hati.
Saya berpikir positif, mungkin ratusan mahasiswa yang lain belum datang. Maklum, mahasiswa, biasa ngaret. Saya pun meninggalkan mahasiswa itu untuk makan soto. Hehehe. Daripada nanti unjuk rasa sudah mulai dan saya kelaperan. :p :p
Saya tinggal untuk makan soto di dekat monas sekitar 20 menit. Kembali ke depan kantor kedubes, tetap saja sepi...... hmmmfhhh. allright, fine. Tidak penting kuantitasnya, yang penting kualitasnya.
Saya lihat mahasiswa itu berorasi (foto pertama). Jumlah mereka sekitar 20-30 orang. Sekitar 10 menit saya memotret (saat itu unjuk rasa baru saja mulai), kemudian saya mewawancarai koordinator unjuk rasa.
Saya: Kalian mahasiswa dari mana saja?
Mahasiswa: Macem-macem. berbeda-beda.
Saya: Apa tujuan unjuk rasa ini?
Mahasiswa: Kami ingin AS tidak intervensi pemilu presiden.
Saya: Apakah ada indikasi AS mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lalu kenapa meminta tidak ada intervensi?
Mahasiswa: Hmmm.... Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik.
Saya: Lalu?
Mahasiswa: Pengetahuan kami masih terbatas, yang kami tahu intervensi itu akan merusak demokrasi.
Saya: *ziingg* Lalu menurut kalian dalam bentuk apa AS akan mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lah kok, tidak tahu bagaimana bisa mengawasi?
Mahasiswa: Hmmm.... Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik. Yang jelas jangan sampai deh AS intervensi.
Saya: *ziiing* ...
5 menit kemudian, demo selesai.
Mahasiswa dan polisi saling bersalaman. Beberapa mahasiswa mencium tangan pak polisi. Beberapa polisi merangkul pundak mahasiswa.
Personally, saya mendukung gerakan mahasiswa. Tentu kita masih ingat perjuangan-perjuangan aktivis 98 yang berhasil menggulirkan semangat reformasi ke negera ini. Saya juga salut dengan kreatifitas mahasiswa UI yang membuat kontrak politik dengan capres-cawapres untuk mengawasi jalannya pemerintahan ke depan.
Tetapi, mbok yao..... untuk mahasiswa-mahasiswa masa kini lainnya, sebaiknya disiapkan dulu materinya sebelum berunjuk rasa.... Tidak bisa dengan alasan "kami kan masih mahasiswa" lalu melupakan daya pikir kritis.
Salam mahasiswa!
Pelanggaran HAM: Dimana Ayah, Paman dan Kakekku Berada?
12:14
![]() |
Fitri Nganthi Wani, anak Wiji Thukul, saat membaca puisi pada Kamisan (26/6). |
“Aku hanya ingin
tahu, kalau kakekku mati dimana kuburnya? Kalau dia masih hidup bagaimana
kabarnya sekarang?” tanya Elsa Auliya (18), cucu Bachtiar Johan,
salah satu korban penghilangan paksa dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984.
Saat rindu bertemu
kakeknya, Elsa datang ke kuburan massal di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara,
dan menaburkan bunga di sana. “Dalam hati bertanya, apakah kakek ada di salah
satu kuburan itu?”
Pada
Kamis (26/6) sore, remaja yang baru saja
lulus SMA itu berdiri menghadap Istana Merdeka,
Jakarta Pusat. Di dekatnya ada Elsi Yuliyanti (15) dan Dias Gustira (18), adik
dan sepupunya. Selain itu ada Binar Mentari (14), putri Mugiyanto, satu dari sembilan
orang yang selamat dari usaha penghilangan paksa tahun 1997/1998, Fitri
Nganthi Wani (25), anak Wiji Thukul,
dan Markus (8), keponakan Ucok Munandar
Siahaan. Wiji Thukul dan
Ucok Munandar Siahaan termasuk dalam 13 orang yang masih dinyatakan hilang
dalam peristiwa penculikan aktivis 1997/1998.
Hari
itu merupakan kali ke-357 aksi Kamisan dilakukan korban dan keluarga korban
yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, setiap Kamis,
sejak 16 tahun lalu. Kamisan kemarin –
yang digelar bersamaan dengan musim libur sekolah – memberi suasana berbeda
karena dihadiri anak-anak, keponakan, dan cucu-cucu korban.
Dihadiri
sekitar 50-an orang, mereka menyampaikan petisi “Pilpres 2014: Instrumen
Impunitas Bagi Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) Masa Lalu”, kepada Presiden
SBY dan meminta pemerintah mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
masa lalu.
Terus berjuang
Kamisan
kemarin diawali long march pada pukul 14.00 dari Patung Kuda Arjuna
Wiwaha, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Sebagian keluarga korban mengenakan
pakaian hitam, sebagian lainnya mengenakan pakaian putih bertuliskan “Kembalikan Orang-orang Tercinta Kami”.
Bagi Elsa, yang dia lakukan bukan hanya atas nama keluarga Bachtiar
Johan, tetapi juga untuk semua korban kekerasan politik yang tidak pernah
diselesaikan.
Pukul
17.00 Wani membaca puisi berjudul “Dalam Keabadian Kebenaran Membatu”. Penggalan
puisi itu berbunyi, “Darimu
jendral penindas hamba belajar meracik senjata. Dari bubuk mesiu kebenaran membentuk
peluru-peluru kata. Dan
kau tercengang ketika
peluruku lebih mematikan dari milikmu.”
Mata
Wani berkaca-kaca. “Bapak saya
dihilangkan paksa oleh penguasa karena menulis puisi yang menyoal kebenaran,”
kata Wani.
Bagi anak-anak
itu, kebenaran harus diperjuangkan. “Pernah aku beradu mulut dengan temanku
yang membela mati-matian Orde Baru. Anak itu gimana sih, tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi,” kata Elsa.
Sebelum acara
Kamisan, Elsa dan kawan-kawan mengikuti diskusi mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan
Asia Justice and Right di Galeri Cemara.
Dalam kesempatan
itu, Binar Mentari menuturkan sejak di bangku Sekolah Dasar dia sering
dikucilkan. Banyak orang
menganggap Mugiyanto, ayahnya, aktivis Partai Rakyat Demokratik, jahat. Seiring berjalannya waktu, Mentari mulai
mengerti potongan-potongan peristiwa itu.
“Ayah
pernah disuruh membuka sepatu dan celana, hingga yang tersisa hanya celana
dalam. Dia disiksa dan disetrum berkali-kali. Di tempat X, dalam kegelapan,
ayah mendengar suara teman-temannya yang juga mengerang kesakitan,” kata
Mentari.
Mentari
tahu cerita itu dari perbincangan dengan keluarga korban, menonton video, dan
membaca buku. “Di sekolah tidak pernah membahas peristiwa itu. Buku pelajaran
sejarah dan kewarganegaraan hanya menulis yang baik-baik saja,” ujarnya.
Agar
teman-teman di sekolahnya mengerti, Mentari kerap bercerita mengenai peristiwa
1997/1998 kepada mereka. Namun hal itu membuat sebagian temannya bosan. Mereka
menganggap Mentari terlalu serius mengurusi persoalan itu.
Tidak
selesai
Warna langit
semakin gelap. Jalanan semakin padat. Sekilas,
beberapa orang melihat aksi Kamisan dari balik kaca mobil mereka. Mentari
menggugat. “Mengapa kita takut mengungkap kebenaran?” ujarnya.
Menurut catatan
Komisi Nasional HAM, puluhan ribu orang dihilangkan paksa dalam periode 1965 –
2001, dalam tragedi 1965, pembunuhan misterius 1982-1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, penculikan aktivis dan mahasiswa
1997-1998, DOM
Aceh 1989-1998, Timor-Timur
1975-1999, berbagai
operasi militer di Papua 1965 – 2001. Hingga kini belum ada Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk
mengungkap dalang dibalik peristiwa-peristiwa itu.
Dari
23 orang yang dihilangkan paksa dalam peristiwa 1997/1998,
satu ditemukan meninggal, sembilan dilepaskan, 13 lainnya masih dinyatakan
hilang.
Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Haffid Abbas, mengatakan, negara bertanggung jawab terhadap
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengungkapan pelanggaran
HAM melalui Pengadilan Ad-Hoc penting untuk mencegah konflik di masa depan.
Presiden kami yang
terhormat, sampai kapan kami harus menunggu ayah, paman, dan kakek kembali?
(A14)
---------
Catatan: versi pendek tulisan ini dimuat di harian Kompas edisi Kamis (3/7) halaman 5, dengan judul "Saat Mata Fitri Nganthi Wani berkaca-kaca".