Pelanggaran HAM: Dimana Ayah, Paman dan Kakekku Berada?
12:14Fitri Nganthi Wani, anak Wiji Thukul, saat membaca puisi pada Kamisan (26/6). |
“Aku hanya ingin
tahu, kalau kakekku mati dimana kuburnya? Kalau dia masih hidup bagaimana
kabarnya sekarang?” tanya Elsa Auliya (18), cucu Bachtiar Johan,
salah satu korban penghilangan paksa dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984.
Saat rindu bertemu
kakeknya, Elsa datang ke kuburan massal di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara,
dan menaburkan bunga di sana. “Dalam hati bertanya, apakah kakek ada di salah
satu kuburan itu?”
Pada
Kamis (26/6) sore, remaja yang baru saja
lulus SMA itu berdiri menghadap Istana Merdeka,
Jakarta Pusat. Di dekatnya ada Elsi Yuliyanti (15) dan Dias Gustira (18), adik
dan sepupunya. Selain itu ada Binar Mentari (14), putri Mugiyanto, satu dari sembilan
orang yang selamat dari usaha penghilangan paksa tahun 1997/1998, Fitri
Nganthi Wani (25), anak Wiji Thukul,
dan Markus (8), keponakan Ucok Munandar
Siahaan. Wiji Thukul dan
Ucok Munandar Siahaan termasuk dalam 13 orang yang masih dinyatakan hilang
dalam peristiwa penculikan aktivis 1997/1998.
Hari
itu merupakan kali ke-357 aksi Kamisan dilakukan korban dan keluarga korban
yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, setiap Kamis,
sejak 16 tahun lalu. Kamisan kemarin –
yang digelar bersamaan dengan musim libur sekolah – memberi suasana berbeda
karena dihadiri anak-anak, keponakan, dan cucu-cucu korban.
Dihadiri
sekitar 50-an orang, mereka menyampaikan petisi “Pilpres 2014: Instrumen
Impunitas Bagi Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) Masa Lalu”, kepada Presiden
SBY dan meminta pemerintah mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
masa lalu.
Terus berjuang
Kamisan
kemarin diawali long march pada pukul 14.00 dari Patung Kuda Arjuna
Wiwaha, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Sebagian keluarga korban mengenakan
pakaian hitam, sebagian lainnya mengenakan pakaian putih bertuliskan “Kembalikan Orang-orang Tercinta Kami”.
Bagi Elsa, yang dia lakukan bukan hanya atas nama keluarga Bachtiar
Johan, tetapi juga untuk semua korban kekerasan politik yang tidak pernah
diselesaikan.
Pukul
17.00 Wani membaca puisi berjudul “Dalam Keabadian Kebenaran Membatu”. Penggalan
puisi itu berbunyi, “Darimu
jendral penindas hamba belajar meracik senjata. Dari bubuk mesiu kebenaran membentuk
peluru-peluru kata. Dan
kau tercengang ketika
peluruku lebih mematikan dari milikmu.”
Mata
Wani berkaca-kaca. “Bapak saya
dihilangkan paksa oleh penguasa karena menulis puisi yang menyoal kebenaran,”
kata Wani.
Bagi anak-anak
itu, kebenaran harus diperjuangkan. “Pernah aku beradu mulut dengan temanku
yang membela mati-matian Orde Baru. Anak itu gimana sih, tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi,” kata Elsa.
Sebelum acara
Kamisan, Elsa dan kawan-kawan mengikuti diskusi mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan
Asia Justice and Right di Galeri Cemara.
Dalam kesempatan
itu, Binar Mentari menuturkan sejak di bangku Sekolah Dasar dia sering
dikucilkan. Banyak orang
menganggap Mugiyanto, ayahnya, aktivis Partai Rakyat Demokratik, jahat. Seiring berjalannya waktu, Mentari mulai
mengerti potongan-potongan peristiwa itu.
“Ayah
pernah disuruh membuka sepatu dan celana, hingga yang tersisa hanya celana
dalam. Dia disiksa dan disetrum berkali-kali. Di tempat X, dalam kegelapan,
ayah mendengar suara teman-temannya yang juga mengerang kesakitan,” kata
Mentari.
Mentari
tahu cerita itu dari perbincangan dengan keluarga korban, menonton video, dan
membaca buku. “Di sekolah tidak pernah membahas peristiwa itu. Buku pelajaran
sejarah dan kewarganegaraan hanya menulis yang baik-baik saja,” ujarnya.
Agar
teman-teman di sekolahnya mengerti, Mentari kerap bercerita mengenai peristiwa
1997/1998 kepada mereka. Namun hal itu membuat sebagian temannya bosan. Mereka
menganggap Mentari terlalu serius mengurusi persoalan itu.
Tidak
selesai
Warna langit
semakin gelap. Jalanan semakin padat. Sekilas,
beberapa orang melihat aksi Kamisan dari balik kaca mobil mereka. Mentari
menggugat. “Mengapa kita takut mengungkap kebenaran?” ujarnya.
Menurut catatan
Komisi Nasional HAM, puluhan ribu orang dihilangkan paksa dalam periode 1965 –
2001, dalam tragedi 1965, pembunuhan misterius 1982-1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, penculikan aktivis dan mahasiswa
1997-1998, DOM
Aceh 1989-1998, Timor-Timur
1975-1999, berbagai
operasi militer di Papua 1965 – 2001. Hingga kini belum ada Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk
mengungkap dalang dibalik peristiwa-peristiwa itu.
Dari
23 orang yang dihilangkan paksa dalam peristiwa 1997/1998,
satu ditemukan meninggal, sembilan dilepaskan, 13 lainnya masih dinyatakan
hilang.
Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Haffid Abbas, mengatakan, negara bertanggung jawab terhadap
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengungkapan pelanggaran
HAM melalui Pengadilan Ad-Hoc penting untuk mencegah konflik di masa depan.
Presiden kami yang
terhormat, sampai kapan kami harus menunggu ayah, paman, dan kakek kembali?
(A14)
---------
Catatan: versi pendek tulisan ini dimuat di harian Kompas edisi Kamis (3/7) halaman 5, dengan judul "Saat Mata Fitri Nganthi Wani berkaca-kaca".