Kasih Ibu Antar Maria Londa ke Rio de Janeiro (Kompas, 1/8)
12:40
KOMPAS(Nasional) - Senin, 01 Aug 2016
Halaman: 01, 15
Penulis: IYA; NIC; Denty Piawai Nastitie
Ukuran: 5367
Foto: 1
Pengindex: pik.fadhlan
Olimpiade 2016
Kasih Ibu Antar Maria Londa ke Rio de Janeiro
Oleh DENTY PIAWAI NASTITIE
”Bawalah bekal ini untuk mengobati rasa rindumu
pada Tanah Air.” Itulah pesan sang ibu kepada atlet lompat jauh terbaik
Indonesia, Maria Natalia Londa (26), sesaat sebelum terbang selama 32
jam perjalanan menuju Rio de Janeiro, Brasil, Rabu (27/7) malam. Dengan
sekantong keripik tempe buatan bundanya, Maria meluncur ke ”medan
perang” untuk membela ”Merah Putih” di ajang olahraga akbar sedunia,
Olimpiade 2016.
Maria menjadi salah seorang dari 28 atlet
Indonesia yang tampil di Rio 2016. Lulusan Fakultas Pendidikan Olahraga
dan Kesehatan IKIP PGRI Bali itu adalah atlet pertama Indonesia yang
meraih tiket Olimpiade Rio 2016 setelah mencapai Limit A kualifikasi
dengan jarak lompatan 6,70 meter di SEA Games Singapura 2015.
Agar tampil optimal di Rio, Maria berlatih
keras, menjaga pola istirahat, dan mengatur asupan nutrisi. Putri
pertama dari tiga bersaudara itu sebenarnya pantang makan makanan pedas
dan gorengan karena bisa memengaruhi pemulihan tubuh. Namun, ibunya,
Anastasia Ariningsih, tetap memasak makanan kesukaan Maria.
”Kata ibu, makanan ini awet sehingga bisa saya
makan setelah berlomba. Dengan membawa keripik tempe, saya merasa tenang
karena seperti dekat dengan Indonesia,” ujar peraih dua medali emas,
untuk nomor lompat jauh dan lompat jangkit SEA Games 2013, dan medali
emas Asian Games 2014 itu.
Dukungan ibunya, juga almarhum ayah, Kamilius
Kasi, dan keluarga besarnya, merupakan suntikan semangat terbesar dalam
hidupnya untuk sukses tampil di Brasil. Sebelum bertolak ke Rio, menurut
Maria, ibunya tidak berpesan banyak. Anastasia hanya meminta Maria
menjaga diri karena khawatir dengan keamanan di Brasil.
Selain berlaga, Maria menjadi pembawa bendera
merah putih pada pembukaan Olimpiade 2016. Sebelum berlomba, ia juga
berziarah ke makam ayahnya dan berdoa di gereja. ”Sekarang saya
benar-benar siap berlomba. Mendapat tiket menuju Olimpiade sangat sulit.
Saya tak akan menyia-nyiakan kesempatan,” katanya.
Pelatih Maria, I Ketut Pageh, mengatakan, atlet
asuhannya itu cukup rileks dan percaya diri menjelang tampil di Rio.
Meski akan melalui perjalanan panjang melintasi zona waktu, Maria tetap
semangat. ”Dia lebih khawatir pelatihnya mabuk perjalanan daripada
khawatir dengan dirinya sendiri,” ujar Pageh.
Pebulu tangkis ganda campuran Praveen Jordan
juga selalu pulang ke rumah, berkumpul dengan ibu dan kedua adiknya saat
libur latihan di pelatnas Cipayung, Sabtu sore hingga Minggu. Waktu
istirahat itu dipakai untuk melepas kejenuhan.
Praveen pun membuat aturan tak berbicara soal bulu tangkis saat di rumah. ”Kalau sama mama bisa ngobrol apa pun. Obrolan emak-emak sampai gosip,” katanya lagi.
Pemain yang menjuarai All England 2016 bersama
Debby Susanto itu selalu kangen saat bersama keluarga, terutama untuk
menikmati masakan ibu, khususnya ikan goreng bumbu balado. ”Enak banget
masakannya. Pulang juga mau makan ikan,” kata pemain dengan panggilan
Ucok ini, pekan lalu.
Hendra Setiawan, yang sudah berkeluarga dan
memiliki anak kembar, mempunyai menu khusus yang dibuat ibunya atau
mertuanya saat mereka berkunjung ke rumahnya. ”Nasi tim ayam,” ujar
Hendra. ”Itu salah satu menu khas orang Tionghoa. Katanya itu menu
sehat. Saya percaya saja. Nasi tim buatan mama dan mertua saya enak.
Istri saya bisa masak, tapi kalau nasi tim ayam harus dibuat oleh
ahlinya, ha-ha-ha...,” katanya.
Tangis sang ibu
Di atletik, selain Maria, Indonesia juga akan mengirimkan sprinter jarak 100 meter, Sudirman Hadi, yang lolos melalui wild card
dalam program universalitas. ”Saat mendapat kabar lolos ke Olimpiade,
saya menelepon orangtua. Ibu saya menangis,” kata atlet asal Lombok,
Nusa Tenggara Barat (NTB), itu.
Sudirman senang akan tampil di Olimpiade. Sejak
pekan lalu, dia mengurangi porsi latihan. Pada pagi dan sore, dia
berlatih ringan untuk menjaga kondisi. Di Rio, ia akan bersaing dengan
pelari top seperti Usain Bolt, pelari Jamaika pemegang rekor dunia lari
100 meter.
Demi bersiap ke Rio, ia tidak pulang kampung ke
Nipah, Lombok Utara, yang harus ditempuh sekitar 90 menit perjalanan
dari Mataram, ibu kota NTB, mengingat ia harus tampil di Kejuaraan
Thailand Terbuka, pada 4-7 Juli. Jadwal kejuaraan itu mepet dengan
Lebaran 2016.
Ia memahami, tampil di Thailand Terbuka saat
Lebaran jadi konsekuensinya sebagai atlet. Yang mengesankan, meski harus
berlari saat puasa, dia meraih medali perak, setelah menyelesaikan 100
meter dengan waktu 10,57 detik di final.
Ibarat berkah dari kesabarannya tak berlebaran
di kampung halaman, sehari setelah pulang dari Bangkok, Thailand, Sabtu
(9/7) malam, ia menerima kabar soal kepastiannya berlaga di Olimpiade
2016. ”Saya dikabari pelatih saya, Agustinus Ngamel, bahwa saya yang
akan mengisi satu kuota atlet putra Indonesia yang diberikan IAAF,”
ujarnya.
”Tentu saja berita itu membuat saya tak bisa
tidur semalaman. Gelisah bercampur senang karena bisa tampil di
Olimpiade. Saya sadar, saya ini belum pernah membela Indonesia di SEA
Games, apalagi Asian Games, tetapi bisa langsung turun di Olimpiade.
Tentu itu wujud dari impian yang tidak pernah saya angankan,” ungkap
Sudirman.
Peran orangtua seperti ibunda Maria Londa,
Anastasia Ariningsih, yang memasak keripik tempe untuk anaknya, tak
kalah besar dibandingkan unsur lain dalam persiapan atlet.
(IYA/NIC)
Ketika Konflik Lahan Menyengsarakan Banyak Orang
14:04
“Sawah kini kering. Air tidak lagi mengalir. Sudah dua kali tanam padi, gagal panen," kata Rahana (60), Rabu (4/11). Dia memandang hamparan sawah berwarna kuning kecoklatan di depannya. Lahan yang dulunya subur itu berubah kering dan pecah-pecah sejak perusahaan kelapa sawit mengepung tempat tinggal warga di Desa Sungai Bungur, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi. Inilah kisah ketika konflik lahan antara warga dengan perusahaan sudah menyengsarakan banyak orang....
Bersama anak perempuannya, Erni (34), ibu empat anak itu memanen padi yang jumlahnya tak seberapa. Tangannya bergerak memetik padi dengan menggunakan ani-ani. Di bawah terik matahari, sesekali Rahana menyeka keringat yang mengalir di kening dan lehernya. Sejak pukul tujuh pagi, dua perempuan itu bekerja. Hasilnya, mereka mendapat sekitar tiga puluh genggam padi.
Jumlah padi yang dia dapatkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. "Terpaksa nanti beli beras miskin," kata Rahana. Tahun-tahun sebelumnya, dia memanen 5-6 karung padi yang setara dengan 3-5 ton beras. Jumlah itu cukup untuk persediaan makan selama satu tahun.
Gagal panen di Desa Sungai Bungur terjadi tak hanya karena musim kemarau. Kekeringan diperparah sejak perusahaan-perusahaan kelapa sawit membangun kanal di sekitar area perkebunan dan persawahan warga. Kanal diperlukan untuk mengeringkan rawa gambut agar mudah dibakar. Kanalisasi membuat lahan perkebunan dan persawahan warga kering, keras, dan pecah-pecah.Selain membuat kanal, perusahaan-perusahaan kelapa sawit juga menyekat aliran Sungai Bungur. Air dari sungai tidak lagi menggenangi persawahan warga.


Kekeringan akibat kanalisasi juga melanda Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Nasir (51), tahun ini tidak bisa menanam padi karena sawahnya kering. Di dekat sawahnya, ada kanal selebar 1,5-2 meter. "Perusahaan kelapa sawit yang harusnya datang menyejahterakan warga, justru menyengsarakan,” kata dia,
Sebagai petani, Nasir menggantungkan hidup pada kesuburan tanah. Tanah seluas satu hektar itu merupakan peninggalan orang tua yang sudah ada sejak tahun 1965. Sejak tak bisa lagi bercocok-tanam, Nasir bekerja sebagai buruh karet. Pendapatannya Rp 15.000 – Rp 20.000 per hari. Untuk makan sehari-hari, dia mengandalkan pasokan beras miskin dari pemerintah untuk makan sehari-hari.
Selain membuat kanal untuk mengeringkan lahan gambut, perusahaan juga membakar lahan untuk dijadikan perkebunan. Kobaran api merambat dan menghanguskan perkebunan. Sebagian perkebunan bahkan sengaja dibakar perusahaan itu agar warga mau melepas lahannya dengan harga murah. Kebakaran lahan menyiksa warga. Setiap hari, sejak bulan Agustus lalu, warga menghirup kabut asap pembakaran yang merusak kesehatan warga. Aktivitas pendidikan, perdagangan, pembangunan juga terganggu karena kabut asap.


Zein (57), warga setempat menuturkan, perusahaan kelapa sawit pernah menawarkan akan membeli lahannya Rp 3.500.000 per meter persegi. Namun, dia tidak setuju karena lahan itu merupakan warisan orang tua yang akan diturunkan lagi ke anak cucu. Selain itu, dia tidak sepakat dengan sistem beli-putus perusahaan. “Kalau perusahaan ingin memakai lahan ini, saya mau sistemnya adalah kerja sama atau bagi hasil,” kata dia.
Suatu hari, dia melihat lahannya terbakar. Pohon-pohon dan rerumputan yang tadinya berwarna hijau, berubah menjadi hitam dan abu-abu. Ranting dan dahan pohon yang sudah terbakar tergeletak di atas lahan. Karena sudah terbakar, Zein tidak bisa lagi memakai lahan itu untuk berkebun.
Desa Sogo terletak sekitar dua jam perjalanan dengan sepeda motor dari Kota Jambi. Jalan yang dilalui berkelok-kelok dan rusak di banyak bagian. Dari jalan utama, warga harus melintasi jembatan kayu menyebrangi Sungai Kumpeh. Di desa itu, dulunya terhampar perkebunan dan persawahan warga. Kondisi itu berubah ketia perusahaan kelapa sawit PT BBS datang. Diduga tanpa izin warga setempat, perusahaan itu menggarap lahan seluas 1.000 hektar yang ada di sana.

Aswan (50), warga Desa Sogo, menuturkan, kedatangan PT BBS
di Desa Sogo awalnya hanya numpang melintas. Perusahaan itu memiliki lahan
perkebunan di Desa Sponjen dan Desa Tanjung yang letaknya tak jauh dari Desa Sogo. Pengurus
perusahaan lalu membuat jalan di Desa Sogo untuk tempat perlintasa truk menuju
perkebunan mereka. “Lama kelamaan perusahaan itu menggarap lahan warga,” kata
Aswan.
Aswan menuturkan pernah meminta perusahaan itu menggarap perkebunan milik warga. Oleh perwakilan perusahaan, dia diajak bertemu di kebun kelapa sawit. Saat datang ke kebun, Aswan malah dikriminalisasi. “Saya dituduh merusak perkebunan. Saya lalu dilaporkan ke polisi,” kata dia.
Aswan menuturkan pernah meminta perusahaan itu menggarap perkebunan milik warga. Oleh perwakilan perusahaan, dia diajak bertemu di kebun kelapa sawit. Saat datang ke kebun, Aswan malah dikriminalisasi. “Saya dituduh merusak perkebunan. Saya lalu dilaporkan ke polisi,” kata dia.
Untuk
memperjuangkan tanah, warga melapor ke Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan
DPRD Provinsi Jambi. Namun, hingga kini tak ada tanggapan berarti.
Yani (38), berharap perusahaan mengembalikan lahan milik warga. “Kalaupun perusahaan ingin menggarap lahan itu, warga harus dilibatkan dan keuntungan dibagi bersama,” kata dia.
Saat penulis menghubungi Ir Darmah, pejabat dari PT BBS, dia menolak memberi tanggapan. “Nantilah, kita atur waktu bertemu,” kata dia. Darmah tidak memberi kepastian kapan waktu untuk bertemu.
Asistant Pemerintahan Kabupaten Muaro Jambi, Budi, mengatakan, tidak pernah menerima laporan masyarakat terkait konflik lahan di Desa Sogo. "Setelah masyarakat melapor ke DPRD Provinsi Jambi, saya baru tahu ada konflik itu," kata dia.
Menurut Budi, selama ini masyarakat merasa tidak pernah menerima kompensasi pembebasan lahan. Pembebasan lahan kemungkinan besar diterima orang lain yang tidak tinggal di Desa Sogo. Untuk menyelesaikan konflik ini, Budi akan mempertemukan perusahaan dengan warga.
Dwi Nanto, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi mengatakan sejak tahun 2014 menangani 27 konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. "Perusahaan umumnya melakukan penguasaan lahan secara paksa dengan melibatkan pihak ketiga, yakni pemerintah daerah ataupun oknum warga di luar masyarakat setempat," kata dia.
Menurut Dwi, setelah mendapat izin usaha dari pemerintah, perusahaan perkebunan memiliki kewajiban untuk melakukan pembebasan lahan. Kalau lahan itu termasuk kawasan hutan, perusahaan harus mendapat izin dari Menteri Perhutanan. Untuk menyelesaikan Konflik lahan, pemerintah daerah perlu bersikap tegas mendorong perusahaan bersikap transparan dan membuka ruang dialog dengan warga agar. "Harus ada jalan keluar yang menyejahterakan warga,” kata Dwi. (Denty Piawai Nastitie)
Yani (38), berharap perusahaan mengembalikan lahan milik warga. “Kalaupun perusahaan ingin menggarap lahan itu, warga harus dilibatkan dan keuntungan dibagi bersama,” kata dia.
Saat penulis menghubungi Ir Darmah, pejabat dari PT BBS, dia menolak memberi tanggapan. “Nantilah, kita atur waktu bertemu,” kata dia. Darmah tidak memberi kepastian kapan waktu untuk bertemu.
Asistant Pemerintahan Kabupaten Muaro Jambi, Budi, mengatakan, tidak pernah menerima laporan masyarakat terkait konflik lahan di Desa Sogo. "Setelah masyarakat melapor ke DPRD Provinsi Jambi, saya baru tahu ada konflik itu," kata dia.
Menurut Budi, selama ini masyarakat merasa tidak pernah menerima kompensasi pembebasan lahan. Pembebasan lahan kemungkinan besar diterima orang lain yang tidak tinggal di Desa Sogo. Untuk menyelesaikan konflik ini, Budi akan mempertemukan perusahaan dengan warga.
Dwi Nanto, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi mengatakan sejak tahun 2014 menangani 27 konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. "Perusahaan umumnya melakukan penguasaan lahan secara paksa dengan melibatkan pihak ketiga, yakni pemerintah daerah ataupun oknum warga di luar masyarakat setempat," kata dia.
Menurut Dwi, setelah mendapat izin usaha dari pemerintah, perusahaan perkebunan memiliki kewajiban untuk melakukan pembebasan lahan. Kalau lahan itu termasuk kawasan hutan, perusahaan harus mendapat izin dari Menteri Perhutanan. Untuk menyelesaikan Konflik lahan, pemerintah daerah perlu bersikap tegas mendorong perusahaan bersikap transparan dan membuka ruang dialog dengan warga agar. "Harus ada jalan keluar yang menyejahterakan warga,” kata Dwi. (Denty Piawai Nastitie)
Bola Pernikahan
20:08
"Jadi, kapan nikah?" tanya saya kepada Ridwan, di sebuah kedai makan cepat saji.
Ketika saya menanyakan hal itu, Ridwan sedang menegak koka-kola. Dia langsung terbatuk-batuk kecil. "Awal tahun depan, nihh... Kok lo tau?" jawab dia.
"Gue....." jawab saya, sok bangga.
Ridwan adalah teman saya, sesama wartawan. Saya mengenalnya, sekitar setengah tahun lalu. Saat itu kami sama-sama meliput persidangan di pengadilan negeri. Sejak awal bertemu, kami langsung menjadi teman akrab. "Oya, lupa gue... lo kan wartawan gosip," kata Ridwan, mencemooh.
"Hahahaa.... Sial!"
Ridwan lalu meletakkan gelas koka-kola di atas baki. Selama beberapa saat kami terdiam. Saya melanjutkan membolak-balik kertas rilis konfrensi pers, dan mengetik berita dengan menggunakan ponsel. Ridwan menatap saya. "Gue sudah lama pacaran. Sudah enam tahun. Enggak mungkin mundur," jawab Ridwan, tanpa ditanya.
"Jadi, lo nikah karena sudah lama pacaran dan tidak mungkin mundur?"
Ridwan menyumpal telinganya dengan earphones. Dia menyetel musik melalui ponselnya, lalu membolak-balik kertas rilis dan mulai mengetik berita. Tak ada tanggapan, saya lalu mengambil kentang goreng rasa keju di baki Ridwan. Rasanya asin.
Alasan Ridwan menikah mengingatkan saya pada Santo, anak teman ayah saya.
Pekan lalu, Santo dan keluarganya datang dari Semarang ke Jakarta. Kata ayah, Santo dan keluarganya datang ke Jakarta untuk berkenalan dengan keluarga pacar Santo.
Santo berusia 26 tahun, lulusan arsitektur, baru satu bulan kerja di Semarang. "Wah, umurnya lebih muda dari gue, baru satu bulan kerja, berani banget nikah?" ujar kakak saya.
"Sudah diminta keluarga perempuannya," jawab ayah.
Bagi saya, kisah Ridwan dan Santo punya kemiripan. Yakni, alasan pernikahan yang tidak biasa. Selama ini banyak orang mengira alasan pernikahan selalu: karena sudah sama-sama cocok, karena sudah saling mengerti, karena saling mencintai dan lain-lain...... Ternyata, di luar alasan mainstream itu ada banyak alasan lainnya....... Seperti alasan sudah lama pacaran (daripada enggak dinikahin ntar dikira enggak tanggung jawab), sudah dikejar-kejar keluarga perempuan, disuruh orang tua, dll.
"Untuk pasangan yang sudah lama pacaran, memang ada beban tersendiri untuk menikah. Kalau tidak segera menikah, dikira enggak serius. Sedangkan kalau menikah, mungkin juga belum sreg," terngiang kata-kata Vandi, teman saya, tadi malam.
Kami berdua baru saja pulang dari acara pernikahan seorang kawan. Saya, yang saat itu sedang mengemudikan mobil, hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, coba memahami.
Menurut Vandi, banyak alasan orang menunda pernikahan. Selain masalah finansial, bisa juga masalah cita-cita yang belum kesampaian. "Kadang banyak hal yang pengen kita lakukan yang enggak mungkin bisa dilakukan saat sudah menikah. Makanya sekarang gue puas-puasin ngelakuin semua hal yang gue mau, kalau udah nikah ya, stop...." kata dia.
Vandi sudah pacaran lima tahun. Tahun depan, dia dan pacarnya akan menikah. "Kak denty, kalau saya nikah datang ya!" kata dia.
"Siap! Kirimin aja undangan plus tiket pesawatnya..... Nikah di Jambi kan?"
"Hahahaa.... tekor, saya, kak!" kata dia, sebelum turun dari mobil.
*
Siang sudah bergerak semakin terik. Saya menyeruput jus jeruk. Saya dan Ridwan memutuskan berpisah. Ridwan harus kembali ke kantor untuk rapat, sedangkan saya punya waktu beberapa jam sebelum melakukan aktivitas rutin saya akhir-akhir ini: lari sore. Saya memutuskan untuk ke daerah Kebayoran Baru, menungu matahari turun.
Dalam perjalanan, saya memikirkan makna pernikahan. Kebetulan, kotbah misa Minggu kemarin tentang sakramen pernikahan. Kata Romo yang memimpin misa di Gereja Otista, "Dalam agama katolik, kita mengenal "sakramen pernikahan". Tanda keselamatan Allah, melalui pernikahan...." kata Romo. "Allah bersabda, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia."
Romo lalu menggaris bawahi kata "penolong" dan "sepadan", yang bermakna saling menolong, saling mengasihi, saling membahagiakan. Tidak ada siapa memimpin siapa atau siapa dipimpin siapa karena sepadan, berarti setara...... Ahh.... betapa indah, makna pernikahan...... eits, tapi..... tunggu, seindah itukah pernikahan?
*
Di Kebayoran Baru, saya berjumpa beberapa kawan. Salah satunya Rian, ayah satu anak. Pria itu bercerita tentang para TTM-an nya yang kebanyakan sudah punya suami dan anak. TTM alias teman tapi mesra (Rian menolak pacar gelapnya itu disebut selingkuhan).
"Kami sama-sama tahu kok. Pacar gue tahu gue udah punya istri dan anak. Gue juga tahu mereka sudah punya suami dan anak," kata Rian.
"Kalau sudah punya keluarga kenapa harus menjalin hubungan gelap?" tanya saya.
"Dentehhhh...... Abis elo nikah, bayang-bayang keindahan yang lo bayangkan sebelum nikah itu buyar. Apa yang dulu dianggap asik, jadi enggak asik. Apa yang dulu bikin semangat, jadi enggak bikin semangat lagi! Semuanya jadi hambar.... Lo butuh sesuatu yang bikin lo semangat lagi, seru lagi....." kata Rian.
"Dan itu dengan mencari pacar gelap?"
"Betuuul sekali denteeh...."
"What if....... ternyata istri lo juga punya TTM-an?"
"Enggak mungkin denteeeh!! Enggak mungkinnnn!!! Gue tahu gimana istri gue, enggak mungkin dia punya TTM," kata dia yakin.
"What if?" tanya saya, sekali lagi.
"What if ya?" dia memutar bola matanya. "Enggak apa-apa selama gue enggak tahu." jawab dia.
"Jadi enggak apa-apa kalau istri lo punya selingkuhan asal elo enggak tahu, sama seperti enggak apa-apa elo punya selingkuhan asal istri elo enggak tahu?"
"Dentehhh..... gua tahu kebiasaan istri gue. Gue tahu kapan istri gue bohong. Dan gue bisa bikin istri gue enggak tahu kalau gue bohong," kata Rian, sambil terkekeh.
"Elo enggak takut ketahuan dan keluarga lo hancur?"
"Enggak! Karena gue tahu gimana bikin ini enggak ketahuan..... kalaupun ketahuan dan hancur, gue tahu gimana memperbaikinya biar enggak begitu hancur..... bisalah diatur-atur, tinggal bagaimana ngaturnya aja biar enggak apes," kata Rian sambil terbahak.
Ahhh...... Sedih, apakah Rian sudah lupa tujuan mulia dan sakral dari sebuah pernikahan yang harus saling melengkapi, membahagiakan, dan memuliakan pasangan. "Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia...." sekali lagi kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepala saya.
Bagaimana bisa saling menolong dan membahagiakan apabila pernikahan diwarnai dusta dan kebohongan-kebohongan yang ditanam dan dipupuk?
Rian menunjukkan saya video putrinya yang mengenakan kaos berwarna merah jambu dan rok ballet putih susu. Bocah perempuan yang imut, manis, dan manja. "Gue takut anak gue digangguin cowok enggak bener........ cowok yang enggak bener kayak bapaknya," kata Rian, sendu.
Percakapan dengan Rian memunculkan satu konsep "Bola Pernikahan" di kepala saya. Ibarat sebuah permukaan bola yang bersih dan kinclong, pernikahan dapat terlihat bahagia dan baik-baik saja apabila dilihat dari suatu sudut tertentu. Namun, ketika bola diputar, entah ke atas, kebawah, ke samping kanan, dan samping kiri......... bola bisa terlihat kotor, penuh percak tanah, penuh sayat, dan kerikil yang menempel. Kita percaya pernikahan seseorang itu bahagia...... tanpa tahu apa yang tersembunyi di baliknya. Kebohongan apa yang ada di sana. Kesedihan dan luka seperti apa yang coba ditutupi seseorang. "Tepat sekaliiii dentehhh!! Begitulah pernikahan....... " kata Rian.
Saya lalu pamit untuk lari sore.
*
Matahari bersinar terang, angin bertiup semilir. Sambil berlari kecil mengelilingi GBK, saya ingat percakapan dengan Angin. Nama aslinya Airlangga.
Suatu hari Angin berkata,"Gue terjebak. Enam tahun pacaran, akhirnya menikah. Tapi ternyata, pernikahan tidak berjalan sebagaimana yang gue harapkan......... mau cerai pun susah, karena anak gue masih kecil, baru berumur 1,5 tahun." kata Angin.
Untuk melampiaskan kesedihannya, Angin jarang pulang ke rumah."Apapun gue lakuin biar gue sibuk. Biar gue enggak harus lama-lama di rumah," kata dia.
Entah di sudut mana, dalam hati, saya bersyukur belum menikah...... setidaknya untuk saat ini, saya tidak harus berhadapan dengan masalah pelik dalam bola pernikahan. Apakah segitu parah dan seramnya sebuah pernikahan?
Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh bahagia di baliknya. Itu mungkin terjadi pada pasangan Dd dan Nz.
Dd adalah pelukis, tinggal di Jogja. Nz adalah penulis, tinggal di Jakarta. Saya yang memperkenalkan mereka karena waktu itu keduanya curhat desperate nggak punya pacar padahal usia sudah sangat matang. Setelah dikenalkan, mereka rajin sms-an. Apapun perkembangan hubungan mereka, selalu disampaikan kepada saya.
Hingga suatu hari, saya mendapat telepon jarak jauh dari Nz. "Dd ngelamar gue!!" kata Nz.
"What?!!! Selamat yaaa!!!" kata saya sangat-sangat bahagia.
Pernikahan dilaksanakan di Bandung, kota kelahiran Nz. Pernikahan sederhana yang diadakan di rumah orang tua Nz. Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga terdekat. Dari foto yang saya lihat, Nz mengenakan rok panjang, kebaya encim wana putih dengan kerudung putih. Dd mengenakan kemeja putih dengan peci hitam. Kata Nz, "Dulu gue pernah mau nikah, tapi batal. Padahal undangan udah disebar. Gue enggak mau malu lagi..... gue trauma, makanya gue bikin pernikahan sederhana aja," kata dia.
"Apapun sayang......... apapun yang membuat kamu bahagia," kata saya beberapa minggu setelah pernikahan digelar.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi di Jogja. Suasana kedai kopi temaram dengan cahaya lampu yang samar-samar. Saya lihat mata perempuan bernama Nz itu berkaca-kaca. Atau mata saya sendiri yang berair karena ikut merasakan kebahagiaan seorang teman?
Setelah perjumpaan itu, saya disibukkan dengan berbagai aktivitas mahasiswa..... seabrek tugas, persiapan KKN, ngerjain skripsi, bimbingan dosen, dan banyak hal lainnya...... saya hampir putus kontak dengan Nz.
Lalu, suatu hari saya mendapat pesan pendek dari Dd. "Den, Nz sakit....... jenguk ya. Dirawat di RS," kata Dd.
Tergopoh-gopoh saya ke RS. Begitu memasuki kamar Nz, saya melihat perempuan kurus dengan rambut cepak duduk di atas kasur. Di bawah matanya ada cekung berwarna hitam. Bahunya melorot, tak ada semangat. Pandangan matanya kosong. Tangannya terkulai di atas kasur. Meski di kelilingnya ada suami, keluarga, dan teman-teman dekat, Nz terlihat memiliki dunianya sendiri. Dunia yang sulit dikenali. Sore itu, Nz terlihat begitu berbeda.........
"Nz, ini gue....." kata saya. Perempuan itu tak menanggapi. Tapi, saya melihat air mata mengalir di pipinya. Dia menangis. Saya juga menangis.
Dd mengajak saya ke luar kamar.
"Ada virus di otaknya. Sudah sebulan dia tidak kenal orang-orang. Tapi, di lubuk hatinya, dia pasti ingat kamu......" kata Dd. Kalimat yang membuat saya bertambah sedih dan patah.
Saya terisak, saya memikirkan betapa tidak bergunanya saya, betapa bodohnya saya karena tidak tahu bagaimana saya bisa menolong dia. Beberapa teman, memeluk saya, memberi ketabahan.....
Beberapa bulan kemudian, Nz sudah boleh pulang ke rumah. Dia tidak kembali seperti Nz yang dulu, tetapi dia menjadi Nz yang baru dan sungguh-sungguh berbeda.
Dd, begitu perhatian padanya. Terakhir kali saya bertemu mereka, Dd memasak untuk Nz. Dia membelai kepala Nz. Dia memijat kaki Nz. Mereka berdua menunjukkan foto rumah yang sedang mereka bangun. Rumah anti gempa di daerah Bantul. Terbuat dari beton yang dibangun menyerupai rumah teletubbies. "Nanti, rumahnya mau diisi banyak lukisan biar enggak monoton," kata Dd yang dijawab senyum istrinya.
"Den, terimakasih ya udah ngenalin Nz ke aku...... aku bahagia dan sangat berterimakasih punya Nz di hidup aku," kata Dd. Sebuah pernyataan yang sungguh di luar dugaan.
Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh ketulusan, kebahagiaan, kesungguhan, di baliknya. Melalui pasangan Nz dan Dd saya belajar akan makna kasih sayang yang tidak berkesudahan..........
Matahari sore berwarna kuning keemasan. Saya menegak air putih dan menyeka keringat di dahi.
Saya berhenti berlari untuk sementara waktu, .......
Ah Nz, tiba-tiba gue kangen lo...... <3 <3
Ketika saya menanyakan hal itu, Ridwan sedang menegak koka-kola. Dia langsung terbatuk-batuk kecil. "Awal tahun depan, nihh... Kok lo tau?" jawab dia.
"Gue....." jawab saya, sok bangga.
Ridwan adalah teman saya, sesama wartawan. Saya mengenalnya, sekitar setengah tahun lalu. Saat itu kami sama-sama meliput persidangan di pengadilan negeri. Sejak awal bertemu, kami langsung menjadi teman akrab. "Oya, lupa gue... lo kan wartawan gosip," kata Ridwan, mencemooh.
"Hahahaa.... Sial!"
Ridwan lalu meletakkan gelas koka-kola di atas baki. Selama beberapa saat kami terdiam. Saya melanjutkan membolak-balik kertas rilis konfrensi pers, dan mengetik berita dengan menggunakan ponsel. Ridwan menatap saya. "Gue sudah lama pacaran. Sudah enam tahun. Enggak mungkin mundur," jawab Ridwan, tanpa ditanya.
"Jadi, lo nikah karena sudah lama pacaran dan tidak mungkin mundur?"
Ridwan menyumpal telinganya dengan earphones. Dia menyetel musik melalui ponselnya, lalu membolak-balik kertas rilis dan mulai mengetik berita. Tak ada tanggapan, saya lalu mengambil kentang goreng rasa keju di baki Ridwan. Rasanya asin.
Alasan Ridwan menikah mengingatkan saya pada Santo, anak teman ayah saya.
Pekan lalu, Santo dan keluarganya datang dari Semarang ke Jakarta. Kata ayah, Santo dan keluarganya datang ke Jakarta untuk berkenalan dengan keluarga pacar Santo.
Santo berusia 26 tahun, lulusan arsitektur, baru satu bulan kerja di Semarang. "Wah, umurnya lebih muda dari gue, baru satu bulan kerja, berani banget nikah?" ujar kakak saya.
"Sudah diminta keluarga perempuannya," jawab ayah.
Bagi saya, kisah Ridwan dan Santo punya kemiripan. Yakni, alasan pernikahan yang tidak biasa. Selama ini banyak orang mengira alasan pernikahan selalu: karena sudah sama-sama cocok, karena sudah saling mengerti, karena saling mencintai dan lain-lain...... Ternyata, di luar alasan mainstream itu ada banyak alasan lainnya....... Seperti alasan sudah lama pacaran (daripada enggak dinikahin ntar dikira enggak tanggung jawab), sudah dikejar-kejar keluarga perempuan, disuruh orang tua, dll.
"Untuk pasangan yang sudah lama pacaran, memang ada beban tersendiri untuk menikah. Kalau tidak segera menikah, dikira enggak serius. Sedangkan kalau menikah, mungkin juga belum sreg," terngiang kata-kata Vandi, teman saya, tadi malam.
Kami berdua baru saja pulang dari acara pernikahan seorang kawan. Saya, yang saat itu sedang mengemudikan mobil, hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, coba memahami.
Menurut Vandi, banyak alasan orang menunda pernikahan. Selain masalah finansial, bisa juga masalah cita-cita yang belum kesampaian. "Kadang banyak hal yang pengen kita lakukan yang enggak mungkin bisa dilakukan saat sudah menikah. Makanya sekarang gue puas-puasin ngelakuin semua hal yang gue mau, kalau udah nikah ya, stop...." kata dia.
Vandi sudah pacaran lima tahun. Tahun depan, dia dan pacarnya akan menikah. "Kak denty, kalau saya nikah datang ya!" kata dia.
"Siap! Kirimin aja undangan plus tiket pesawatnya..... Nikah di Jambi kan?"
"Hahahaa.... tekor, saya, kak!" kata dia, sebelum turun dari mobil.
*
Siang sudah bergerak semakin terik. Saya menyeruput jus jeruk. Saya dan Ridwan memutuskan berpisah. Ridwan harus kembali ke kantor untuk rapat, sedangkan saya punya waktu beberapa jam sebelum melakukan aktivitas rutin saya akhir-akhir ini: lari sore. Saya memutuskan untuk ke daerah Kebayoran Baru, menungu matahari turun.
Dalam perjalanan, saya memikirkan makna pernikahan. Kebetulan, kotbah misa Minggu kemarin tentang sakramen pernikahan. Kata Romo yang memimpin misa di Gereja Otista, "Dalam agama katolik, kita mengenal "sakramen pernikahan". Tanda keselamatan Allah, melalui pernikahan...." kata Romo. "Allah bersabda, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia."
Romo lalu menggaris bawahi kata "penolong" dan "sepadan", yang bermakna saling menolong, saling mengasihi, saling membahagiakan. Tidak ada siapa memimpin siapa atau siapa dipimpin siapa karena sepadan, berarti setara...... Ahh.... betapa indah, makna pernikahan...... eits, tapi..... tunggu, seindah itukah pernikahan?
*
Di Kebayoran Baru, saya berjumpa beberapa kawan. Salah satunya Rian, ayah satu anak. Pria itu bercerita tentang para TTM-an nya yang kebanyakan sudah punya suami dan anak. TTM alias teman tapi mesra (Rian menolak pacar gelapnya itu disebut selingkuhan).
"Kami sama-sama tahu kok. Pacar gue tahu gue udah punya istri dan anak. Gue juga tahu mereka sudah punya suami dan anak," kata Rian.
"Kalau sudah punya keluarga kenapa harus menjalin hubungan gelap?" tanya saya.
"Dentehhhh...... Abis elo nikah, bayang-bayang keindahan yang lo bayangkan sebelum nikah itu buyar. Apa yang dulu dianggap asik, jadi enggak asik. Apa yang dulu bikin semangat, jadi enggak bikin semangat lagi! Semuanya jadi hambar.... Lo butuh sesuatu yang bikin lo semangat lagi, seru lagi....." kata Rian.
"Dan itu dengan mencari pacar gelap?"
"Betuuul sekali denteeh...."
"What if....... ternyata istri lo juga punya TTM-an?"
"Enggak mungkin denteeeh!! Enggak mungkinnnn!!! Gue tahu gimana istri gue, enggak mungkin dia punya TTM," kata dia yakin.
"What if?" tanya saya, sekali lagi.
"What if ya?" dia memutar bola matanya. "Enggak apa-apa selama gue enggak tahu." jawab dia.
"Jadi enggak apa-apa kalau istri lo punya selingkuhan asal elo enggak tahu, sama seperti enggak apa-apa elo punya selingkuhan asal istri elo enggak tahu?"
"Dentehhh..... gua tahu kebiasaan istri gue. Gue tahu kapan istri gue bohong. Dan gue bisa bikin istri gue enggak tahu kalau gue bohong," kata Rian, sambil terkekeh.
"Elo enggak takut ketahuan dan keluarga lo hancur?"
"Enggak! Karena gue tahu gimana bikin ini enggak ketahuan..... kalaupun ketahuan dan hancur, gue tahu gimana memperbaikinya biar enggak begitu hancur..... bisalah diatur-atur, tinggal bagaimana ngaturnya aja biar enggak apes," kata Rian sambil terbahak.
Ahhh...... Sedih, apakah Rian sudah lupa tujuan mulia dan sakral dari sebuah pernikahan yang harus saling melengkapi, membahagiakan, dan memuliakan pasangan. "Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia...." sekali lagi kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepala saya.
Bagaimana bisa saling menolong dan membahagiakan apabila pernikahan diwarnai dusta dan kebohongan-kebohongan yang ditanam dan dipupuk?
Rian menunjukkan saya video putrinya yang mengenakan kaos berwarna merah jambu dan rok ballet putih susu. Bocah perempuan yang imut, manis, dan manja. "Gue takut anak gue digangguin cowok enggak bener........ cowok yang enggak bener kayak bapaknya," kata Rian, sendu.
Percakapan dengan Rian memunculkan satu konsep "Bola Pernikahan" di kepala saya. Ibarat sebuah permukaan bola yang bersih dan kinclong, pernikahan dapat terlihat bahagia dan baik-baik saja apabila dilihat dari suatu sudut tertentu. Namun, ketika bola diputar, entah ke atas, kebawah, ke samping kanan, dan samping kiri......... bola bisa terlihat kotor, penuh percak tanah, penuh sayat, dan kerikil yang menempel. Kita percaya pernikahan seseorang itu bahagia...... tanpa tahu apa yang tersembunyi di baliknya. Kebohongan apa yang ada di sana. Kesedihan dan luka seperti apa yang coba ditutupi seseorang. "Tepat sekaliiii dentehhh!! Begitulah pernikahan....... " kata Rian.
Saya lalu pamit untuk lari sore.
*
Matahari bersinar terang, angin bertiup semilir. Sambil berlari kecil mengelilingi GBK, saya ingat percakapan dengan Angin. Nama aslinya Airlangga.
Suatu hari Angin berkata,"Gue terjebak. Enam tahun pacaran, akhirnya menikah. Tapi ternyata, pernikahan tidak berjalan sebagaimana yang gue harapkan......... mau cerai pun susah, karena anak gue masih kecil, baru berumur 1,5 tahun." kata Angin.
Untuk melampiaskan kesedihannya, Angin jarang pulang ke rumah."Apapun gue lakuin biar gue sibuk. Biar gue enggak harus lama-lama di rumah," kata dia.
Entah di sudut mana, dalam hati, saya bersyukur belum menikah...... setidaknya untuk saat ini, saya tidak harus berhadapan dengan masalah pelik dalam bola pernikahan. Apakah segitu parah dan seramnya sebuah pernikahan?
Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh bahagia di baliknya. Itu mungkin terjadi pada pasangan Dd dan Nz.
Dd adalah pelukis, tinggal di Jogja. Nz adalah penulis, tinggal di Jakarta. Saya yang memperkenalkan mereka karena waktu itu keduanya curhat desperate nggak punya pacar padahal usia sudah sangat matang. Setelah dikenalkan, mereka rajin sms-an. Apapun perkembangan hubungan mereka, selalu disampaikan kepada saya.
Hingga suatu hari, saya mendapat telepon jarak jauh dari Nz. "Dd ngelamar gue!!" kata Nz.
"What?!!! Selamat yaaa!!!" kata saya sangat-sangat bahagia.
Pernikahan dilaksanakan di Bandung, kota kelahiran Nz. Pernikahan sederhana yang diadakan di rumah orang tua Nz. Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga terdekat. Dari foto yang saya lihat, Nz mengenakan rok panjang, kebaya encim wana putih dengan kerudung putih. Dd mengenakan kemeja putih dengan peci hitam. Kata Nz, "Dulu gue pernah mau nikah, tapi batal. Padahal undangan udah disebar. Gue enggak mau malu lagi..... gue trauma, makanya gue bikin pernikahan sederhana aja," kata dia.
"Apapun sayang......... apapun yang membuat kamu bahagia," kata saya beberapa minggu setelah pernikahan digelar.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi di Jogja. Suasana kedai kopi temaram dengan cahaya lampu yang samar-samar. Saya lihat mata perempuan bernama Nz itu berkaca-kaca. Atau mata saya sendiri yang berair karena ikut merasakan kebahagiaan seorang teman?
Setelah perjumpaan itu, saya disibukkan dengan berbagai aktivitas mahasiswa..... seabrek tugas, persiapan KKN, ngerjain skripsi, bimbingan dosen, dan banyak hal lainnya...... saya hampir putus kontak dengan Nz.
Lalu, suatu hari saya mendapat pesan pendek dari Dd. "Den, Nz sakit....... jenguk ya. Dirawat di RS," kata Dd.
Tergopoh-gopoh saya ke RS. Begitu memasuki kamar Nz, saya melihat perempuan kurus dengan rambut cepak duduk di atas kasur. Di bawah matanya ada cekung berwarna hitam. Bahunya melorot, tak ada semangat. Pandangan matanya kosong. Tangannya terkulai di atas kasur. Meski di kelilingnya ada suami, keluarga, dan teman-teman dekat, Nz terlihat memiliki dunianya sendiri. Dunia yang sulit dikenali. Sore itu, Nz terlihat begitu berbeda.........
"Nz, ini gue....." kata saya. Perempuan itu tak menanggapi. Tapi, saya melihat air mata mengalir di pipinya. Dia menangis. Saya juga menangis.
Dd mengajak saya ke luar kamar.
"Ada virus di otaknya. Sudah sebulan dia tidak kenal orang-orang. Tapi, di lubuk hatinya, dia pasti ingat kamu......" kata Dd. Kalimat yang membuat saya bertambah sedih dan patah.
Saya terisak, saya memikirkan betapa tidak bergunanya saya, betapa bodohnya saya karena tidak tahu bagaimana saya bisa menolong dia. Beberapa teman, memeluk saya, memberi ketabahan.....
Beberapa bulan kemudian, Nz sudah boleh pulang ke rumah. Dia tidak kembali seperti Nz yang dulu, tetapi dia menjadi Nz yang baru dan sungguh-sungguh berbeda.
Dd, begitu perhatian padanya. Terakhir kali saya bertemu mereka, Dd memasak untuk Nz. Dia membelai kepala Nz. Dia memijat kaki Nz. Mereka berdua menunjukkan foto rumah yang sedang mereka bangun. Rumah anti gempa di daerah Bantul. Terbuat dari beton yang dibangun menyerupai rumah teletubbies. "Nanti, rumahnya mau diisi banyak lukisan biar enggak monoton," kata Dd yang dijawab senyum istrinya.
"Den, terimakasih ya udah ngenalin Nz ke aku...... aku bahagia dan sangat berterimakasih punya Nz di hidup aku," kata Dd. Sebuah pernyataan yang sungguh di luar dugaan.
Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh ketulusan, kebahagiaan, kesungguhan, di baliknya. Melalui pasangan Nz dan Dd saya belajar akan makna kasih sayang yang tidak berkesudahan..........
Matahari sore berwarna kuning keemasan. Saya menegak air putih dan menyeka keringat di dahi.
Saya berhenti berlari untuk sementara waktu, .......
Ah Nz, tiba-tiba gue kangen lo...... <3 <3
Peradilan Sesat: Mereka Rentan Jadi Korban Penegakan Hukum yang Tidak Profesional
15:25
Jakarta itu kejam. Itu yang tertanam dalam
benak Bagus Firdaus (19) alias Daus. ”Yang benar bisa jadi salah. Polisi
yang harusnya melindungi malah menganiaya,” kata eks pengamen yang
diduga menjadi korban salah tangkap, Jumat (14/8).
Anak keenam dari tujuh bersaudara itu
tersangkut kasus pembunuhan pengamen, Dicky Maulana (18), di kolong
Jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, Juni 2013. Saat itu, bersama
teman-teman sesama pengamen Cipulir, dia menemukan Dicky dalam kondisi
sekarat. ”Saya membelikan minuman. Setelah itu, saya tidur. Baru bangun
saat polisi datang,” kata Daus didampingi kakaknya, Erni Sugiarti (21)
dan Anisah (25).
Oleh polisi, Daus dibawa ke Markas Polda Metro
Jaya untuk dimintai keterangan. ”Saya dipukul dan disetrum. Polisi
menyuruh saya mengaku sudah membunuh Dicky,” kata Daus.
Keesokan harinya, dia diminta menandatangani
surat berita acara pemeriksaan. ”Saya tidak tahu apa isinya, hanya
diminta tanda tangan,” kata Daus. Setelah itu, dia dan lima rekannya,
yaitu AS (18), NP (23), F (13), APS (14), dan FP (16), ditahan. Surat
penahanan lalu dikirimkan kepada keluarga.
Namun, kemudian ada Iyan (18) yang mengaku
sebagai salah satu pembunuh Dicky. ”Saya yang bersalah dan sempat
terbayang-bayang (kejadian itu). Pengin ngaku, tapi masih takut. Ya, (saya) kabur meski tertangkap juga. Mereka (anak-anak) itu tidak bersalah,” kata Iyan. (Kompas, 18 November 2013).
Menurut Iyan, pembunuh Dicky ialah Khairudin
Hamzah alias Brengos, Jubaidi alias Jubai, dan dirinya. Pembunuhan
dilatarbelakangi keinginan menguasai sepeda motor korban. Selain itu,
pelaku juga kesal karena Dicky yang pengamen baru dianggap kurang sopan.
Namun, nasi sudah jadi bubur. Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis terhadap empat dari enam
terdakwa. Hakim memutuskan empat anak di bawah umur itu dipenjara 3-4
tahun.
Dua terdakwa lain yang sudah dewasa menghirup
udara bebas setelah setahun mendekam di penjara. Mereka dibebaskan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena belakangan dakwaan tak terbukti.
Pembunuh asli muncul di persidangan.
Kini, Daus berstatus bebas bersyarat. Tiga
rekannya masih ditahan di Rumah Tahanan Anak Tangerang. Tinggal di rumah
dan menjalani wajib lapor, penggemar komik Naruto ini berharap
permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya dikabulkan dan namanya
dipulihkan.
Kasus lain yang menonjol ialah Dedi (34),
tukang ojek yang dipenjara selama 10 bulan atas sangkaan pembunuhan
sopir angkot Mikrolet 06A bernama M Ronal di depan Pusat Grosir
Cililitan, Jakarta Timur, padahal bukan dia pembunuhnya.
Sudah 13 korban
Romy Leo Rinaldo, pengacara publik dari Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta, mencatat, dalam dua tahun setidaknya ada 13
korban salah tangkap yang ditangani LBH Jakarta. ”Tukang ojek, pengamen,
sopir angkot adalah kelompok rentan. Mereka buta hukum dan berasal dari
golongan kurang mampu sehingga tak memiliki akses terhadap perlindungan
ujar Romy.
Romy menjelaskan, ada banyak celah dalam
penegakan hukum. Dalam penyelidikan dan penyidikan, polisi bisa
menangkap tersangka tanpa surat perintah. Di kantor polisi, aparat
menekan seseorang untuk mengakui sesuatu yang tak pernah dia perbuat
tanpa ada pendampingan dan perlindungan hukum. Celah itu berlanjut ke
tingkat pemeriksaan berkas di kejaksaan dan proses di pengadilan.
”Kasus terjadi di Ibu Kota yang seharusnya pengawasan terhadap hukum sangat ketat,” kata Romy.
Pemeriksaan internal
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito
Karnavian mengatakan, terminologi polisi salah tangkap atau tidak itu
ada dalam praperadilan. Dipastikan polisi salah tangkap jika PN yang
memroses praperadilan menerima gugatan penggugat (orang yang ditangkap
polisi). Jika PN menolak, berarti polisi tidak salah tangkap.
”Dalam kasus pengeroyokan dengan korban
Rinaldo, praperadilan yang dimohon tersangka Dedi ditolak hakim. Ini
artinya polisi tidak salah tangkap dia,” kata Tito.
Dalam kasus pembunuhan Dicky, tersangka atau
terpidana Daus dapat melakukan PK. Tito memastikan, pihaknya akan
melakukan pemeriksaan internal jika kasus sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht)
dan isi putusan MA itu membatalkan putusan PN dan menyatakan para
terdakwa tidak bersalah. Artinya, telah terjadi peradilan sesat atas
para terdakwa tersebut.
”Kalau terjadi peradilan sesat, tidak bisa
semua kesalahan dilimpahkan ke polisi. Sebab, ada tiga instansi yang
terlibat dan bertanggung jawab, yaitu polisi di tingkat penyidikan,
jaksa di tingkat penuntutan, dan hakim di tingkat peradilan/penghukuman.
Prinsipnya, kalau putusan sudah inkracht dan terjadi peradilan sesat, baru ada pemeriksaan internal terhadap penyidik,” katanya.
Peradilan sesat, kata Tito, bisa saja terjadi,
misalnya karena penyidik polisi, jaksa penuntut, atau hakim tidak
profesional dalam bertugas.
(Denty Piawai Nastitie/Ratih Prahesti S/B01)
-----
Tulisan ini dimuat harian KOMPAS, Selasa, 25 Agustus 2015, halaman 25
Untaian Sejarah pada Nisan-nisan Peninggalan Belanda
14:47
Meski dicap sebagai penjajah, bangsa Belanda
dan bangsa Eropa lainnya turut serta menyatukan Indonesia. Demikian
pandangan Dr Lilie Suratminto, ahli sastra dan kebudayaan Belanda dari
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada Sabtu (15/8) sore, dua hari menjelang HUT
ke-70 RI, Lilie menelusuri makam-makam Belanda di Museum Taman Prasasti
di Jalan Tanah Abang Nomor 1, Jakarta Pusat.
Pria yang kini menjabat Dekan Fakultas Sosial
dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma itu datang bersama tiga pencinta
sejarah, yaitu Agni Malagina Ana (35), pengajar Sastra Tiongkok di UI;
Syefri Luwis (30), peneliti sejarah BI; dan Arif Nur Alam, pegiat
sosial. Bagi mereka, nisan bukan sekadar prasasti penanda kuburan. Nisan
merupakan dokumen sejarah. Selain mengabadikan identitas diri, makam
itu sekaligus menyimpan berbagai informasi historis tentang kondisi
masyarakat saat si empunya hidup.
Pemakaman umum bernama Kerkhof Laan, yang
sekarang menjadi Museum Taman Prasasti, berdiri pada 28 September 1795.
Pada 1808, Kerkhof Laan mulai kebanjiran batu nisan pindahan antara lain
dari Gereja Baru Belanda (Niuw Hollandsche Kerk) dan Gereja Sion. Tak
jauh dari gerbang museum, terdapat batu nisan abad ke-16 dan ke-17
berukuran 1 x 2,2 meter.
Lilie berhenti di depan salah satu batu nisan.
Jemarinya bergerak menelusuri ukiran simbol yang terpahat di sana.
Pesan-pesan dalam batu nisan tertulis dalam bentuk verbal (inskripsi)
dan nonverbal (ikonis).
Pada batu nisan nomor dua tertulis Tuan Pieter
Janse van Hoorn. Lilie menjelaskan, Tuan Pieter merupakan ayah Gubernur
Jenderal Joan Van Hoorn, tokoh di balik proses renovasi gedung kantor
Gubernur Jenderal VOC yang sekarang difungsikan sebagai Museum
Fatahillah atau Museum Jakarta. Batu nisan yang sama juga dipakai Tuan
Francois Tack, dikenal sebagai Kapten Tack, menantu Tuan Pieter. Kapten
Tack tewas saat mengejar Untung Suropati, rakyat jelata dan budak VOC
yang menjadi bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.
Tuan Pieter wafat pada 1682. Pada batu nisannya
terdapat simbol bintang segi enam yang melambangkan unsur api dan air.
”Bintang segi enam berarti keseimbangan,” kata Lilie.
Relief pada batu nisan merupakan ekspresi latar
belakang budaya komunitas pengguna pesan itu semasa hidup. Simbol juga
menunjukkan status dan kedudukan seseorang.
Nisan yang ada di Taman Prasasti kebanyakan terbuat dari granit. Batu itu berasal dari Bukit Nadu, India Selatan.
Untuk menyatakan seseorang adalah pejabat yang berkuasa, pada nisan disebutkan kepangkatannya, seperti gouveneur-generaal, directeur generaal, eerste raad, gouverneur, dan schepenen. Untuk menyatakan seseorang bukan pejabat resmi, melainkan mempunyai profesi tertentu disebutkan, misalnya, koopman (saudagar), opperkoopman (saudagar senior), onderkoopman (saudagar junior), protokolist (protokol kenegaraan), dan drost (hakim wilayah).
Untuk jabatan dalam militer disebutkan commandeur, capitien militair, overste, dan vaandrig.
Pada batu nisan nomor 10 tertulis nama Eewout
Verhagen. Semasa hidupnya dia adalah pengawas pembangunan gedung
pemerintahan dan gereja yang dalam bahasa Belanda abad ke-17 disebut fabryck. Dia merancang dan memimpin pembangunan Portugeesche Buitenkerk (Gereja Sion) sebelum diangkat sebagai anggota kerkfabryck (dewan gereja) pada 1688-1694. Sebagai pengawas, dia harus mencermati setiap pembangunan agar berkualitas bagus.
Salah satu jenis pekerjaan yang cukup bergengsi pada zaman Belanda adalah heemraden,
yakni pengawas tanggul dan perairan. Dia bertugas antara lain mengawasi
Sungai Ciliwung agar tetap bersih. Orang Belanda yang ketahuan membuang
limbah di sungai tidak pada waktu yang ditentukan akan dikenai denda.
”Sayangnya, zaman sekarang petugas perairan dianggap tidak penting.
Warga Jakarta kurang memperhatikan lingkungan,” tutur Lilie.
Lilie lalu masuk ke dalam gerbang Museum Taman
Prasasti. Dia berjalan di antara nisan, patung malaikat dan dewa-dewi,
serta pepohonan yang tumbuh rimbun. Dari 4.600 batu nisan yang ada di
Kerkhof Laan, yang tersisa kini berjumlah sekitar 1.500 buah.
Para tokoh sejarah yang makamnya masih ada di
Taman Prasasti, antara lain istri Gubernur Jenderal Inggris Thomas
Stamford Raffles, Olivia Mariamne Raffles (meninggal pada 1814); pendiri
sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche
Arsten/Sekolah Kedokteran Bumi Putra) Dr HF Roll (1867-1935); dan Soe
Hok Gie, aktivis yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan
Soeharto.
Bagi Lilie, tokoh-tokoh yang dimakamkan di
Museum Taman Prasasti memiliki peran membangun kota dan masyarakat
Indonesia. Para pemimpin Belanda, misalnya, merencanakan pembangunan
kota dengan menyusun rencana tata ruang wilayah. Contohnya pembangunan
kawasan Menteng dan Kebayoran Lama tergolong cukup baik karena
pemerintah waktu itu menata hunian, drainase, dan tempat pembuangan
sampah.
Selain itu, sejumlah tokoh Belanda juga
berperan menyatukan bangsa Indonesia, seperti Direktur STOVIA Dr HF
Roll. Dia membela mahasiswa STOVIA, di antaranya R Soetomo, yang
terancam dikeluarkan dari STOVIA karena mendirikan organisasi Boedi
Oetomo. Organisasi itu menjadi tonggak kebangkitan nasional. Dari
organisasi Boedi Oetomo, warga pribumi sadar akan makna nasionalisme dan
semangat perjuangan hingga akhirnya Indonesia merdeka.
Perjalanan sore itu berujung di depan dua peti
mati di bagian tengah Museum Taman Prasasti. Salah satu peti mati pernah
digunakan untuk membaringkan jasad Soekarno, presiden pertama RI. Peti
yang satu lagi disiapkan untuk Mohammad Hatta, wakil presiden pertama
RI. ”Bung Karno membenci penjajah, tetapi kenapa peti matinya ada di
antara batu nisan Belanda?” tanya salah seorang pengunjung.
”Ini menunjukkan, setiap manusia (pada akhir
hayatnya) harus berdamai dengan masa lalu. Penjajahan memang
meninggalkan luka, tetapi melalui Konferensi Meja Bundar, bangsa
Indonesia dan Belanda sepakat berdamai,” tutur Lilie.
Taman Prasasti merupakan salah satu taman
pemakaman umum resmi tertua di dunia. Pemakaman ini awalnya dibangun di
atas lahan 5,5 hektar. Karena perkembangan kota, luas museum ini
menyusut menjadi 1,3 hektar. Bulan depan, Museum Taman Prasasti memasuki
usia 220 tahun.
Secara terpisah, pengamat perkotaan Nirwono
Joga menuturkan, saatnya menciptakan acara-acara menarik untuk
menghidupkan museum ini.
(DENTY PIAWAI NASTITIE)
----
Tulisan ini dimuat di harian KOMPAS Sabtu, 29 Agustus 2015, halaman 26
Transportasi Laut : Menjajal Rute Pelayaran Mudik
11:54
Transportasi Laut
Menjajal Rute Pelayaran Mudik
Oleh DENTY PIAWAI NASTITIE
(Tulisan ini dimuat di koran KOMPAS, Selasa, 30 Jun 2015, hlmn 01, 15)
Wahyuti (54), ibu rumah tangga, menggelar tikar di
lorong dek 5 Kapal Motor Kelud, Sabtu (20/6) malam. Berjejal di antara
ratusan penumpang lain, Wahyuti dan cucunya yang berusia 5 tahun
terlelap dengan alas tidur seadanya. Inilah salah satu wajah
transportasi laut menjelang mudik Lebaran.
Pada Jumat siang, KM Kelud bertolak dari
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kapal buatan Jerman berkapasitas
1.906 penumpang ini disiapkan untuk melayani pelayaran mudik rute
Tanjung Priok-Sekupang-Tanjung Balai Karimun-Belawan.
Sejak pukul 07.00, penumpang sudah mulai
berjubel naik tangga. Mereka masuk ke kapal sambil memanggul barang
bawaan, mulai dari tas, kardus, hingga karung. Tidak ketinggalan tikar
dan kasur busa. Anak-anak menenteng boneka dan aneka mainan.
KM Kelud buatan 1998 itu terdiri atas 10 dek.
Dek 1 adalah ruang mesin. Penumpang kelas ekonomi mendapat tempat di dek
2, 3, dan 4. Setiap dek kelas ekonomi diisi puluhan tempat tidur
berlapis kasur busa. Penumpang membaur tanpa sekat.
Penumpang kelas 2 mendapat fasilitas berupa
kamar dengan tiga tempat tidur tingkat (untuk enam orang). Setiap orang
disediakan satu loker untuk menyimpan barang. Fasilitas lain berupa
kamar mandi dan toilet umum yang berada di setiap lorong kamar.
Adapun penumpang kelas 1 mendapat fasilitas
kamar dengan dua tempat tidur tingkat (untuk 4 orang), lemari pakaian,
kamar mandi dalam, selimut, sandal jepit, televisi, dan alat mandi. Jika
penumpang ekonomi mendapat makan yang disediakan dalam kotak styrofoam, makanan yang disajikan bagi penumpang kelas 1 dan 2 adalah prasmanan.

Wahyuti naik kapal dari Pelabuhan Sekupang,
Batam. Tujunnya adalah Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. ”Saya ingin
menengok keluarga. Banyak keluarga tinggal di Medan,” kata perempuan
yang setidaknya lima kali dalam setahun naik kapal ke Belawan itu.
Dermaga minim
Kapal lalu bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung
Balai Karimun di Pulau Karimun Besar. Di sejumlah daerah di Indonesia,
masalah transportasi laut terjadi tidak hanya karena masalah
keterbatasan kapal. Minimnya fasilitas dermaga juga menghambat pelayanan
pelayaran. Keterbatasan fasilitas di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun
membuat KM Kelud tidak bisa bersandar. Kapal itu berhenti 500 meter dari
bibir dermaga.
Ratusan penumpang yang hendak turun di
Pelabuhan Tanjung Balai Karimun berdesakan di depan pintu dek 5. Mereka
membawa barang-barang di dalam tas dan kardus besar. Penumpang menunggu
kapal kecil datang untuk membawa mereka ke pinggir dermaga.

Kapten Slamet Wahyono, nakhoda KM Kelud,
mengatakan, kapal tak bisa merapat di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun
karena dermaganya dibuat bukan untuk kapal besar bersandar. ”Hanya pas
untuk kapal kecil dan kapal cepat,” katanya.
Meski fasilitas serba terbatas, sejumlah
penumpang puas dengan peningkatan pelayanan KM Kelud. Eko (37), karyawan
swasta, mengatakan, sikap awak kapal saat melayani penumpang jauh lebih
baik dibandingkan dengan beberapa tahun silam. ”Kalau dulu penumpang
cuma dikasih nasi dengan potongan telur kecil, sekarang makanannya lebih
enak,” kata Eko yang naik KM Kelud bersama istri dan tiga anaknya.
Sekarang, Eko dan penumpang ekonomi lainnya
mendapatkan makanan berupa nasi, sayur, dan lauk. Penumpang juga
mendapatkan tambahan asupan gizi dan vitamin berupa susu, biskuit, dan
jus buah. Selain itu, keberadaan fasilitas penunjang berupa permainan
anak, alat olahraga, ruang karaoke, serta warung dan kafe juga membuat
penumpang bisa menikmati perjalanan. Dengan harga Rp 327.000 per tiket
(untuk penumpang ekonomi), penumpang bisa pergi ke daerah tujuan dengan
lebih nyaman.
Direktur Operasi PT Pelni Daniel E Bangonan
mengatakan, penumpang kapal Pelni diperkirakan mencapai 779.194 orang
atau naik 2 persen daripada tahun lalu sebanyak 763.916 orang. Untuk
menghadapi arus mudik, Pelni sudah selesai merawat (naik dok) 21 kapal.
Sementara perawatan empat kapal lainnya dijadwalkan seusai puncak
keramaian mudik.
Kapten Slamet mengatakan, menghadapi
arus mudik rute dan jadwal pelayaran KM Kelud diubah. Kalau biasanya kapal
menempuh perjalanan Tanjung Priok – Sekupang – Tanjung Balai Karimun – Belawan –
lalu kembali lagi ke Tanjung Priok, kini KM Kelud akan bergerak bolak-balik
dari Pelabuhan Belawan menuju Batam sebanyak tiga kali sebelum kembali ke
Tanjung Priok.
“Perubahan
rutenya mulai voyage ke-29 atau tepatnya sejak H-7 lebaran, tanggal 10 Juli
2015. Rute pelayaran diubah untuk mengatasi lonjakan penumpang dari
Pelabuhan Sekupang, Batam, ke arah Pelabuhan Belawan,” kata Slamet.
Pelayaran Kompas adalah bagian dari menjajal kesiapan mudik....
Merasakan Sensasi "Off-Road" di Cikole
00:25
Jam 6 sore berangkat ke Lembang, di jalan maceeeettt ceeett ceet...... sampai Lembang udah nyaris jam 12 malam. Aduuuhhh I am sooooo tired......... langsung makan, langsung tidur. Besoknya begitu lihat Landy semangat lagi. Ini beberapa snap shot. Prinsipnya kalau Landy gue bermasalah, gue turun dari mobil jepret-jepret terus jalan lagi.... haha sampai diteriakin drivernya karena gara-gara gue Landy kelompok gue
ketinggalan rombongan terus......
Tulisan lengkap Kompas >> http://travel.kompas.com/read/2015/01/11/132700327/Merasakan.Sensasi.Off-Road.di.Cikole