Untaian Sejarah pada Nisan-nisan Peninggalan Belanda
14:47
Meski dicap sebagai penjajah, bangsa Belanda
dan bangsa Eropa lainnya turut serta menyatukan Indonesia. Demikian
pandangan Dr Lilie Suratminto, ahli sastra dan kebudayaan Belanda dari
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada Sabtu (15/8) sore, dua hari menjelang HUT
ke-70 RI, Lilie menelusuri makam-makam Belanda di Museum Taman Prasasti
di Jalan Tanah Abang Nomor 1, Jakarta Pusat.
Pria yang kini menjabat Dekan Fakultas Sosial
dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma itu datang bersama tiga pencinta
sejarah, yaitu Agni Malagina Ana (35), pengajar Sastra Tiongkok di UI;
Syefri Luwis (30), peneliti sejarah BI; dan Arif Nur Alam, pegiat
sosial. Bagi mereka, nisan bukan sekadar prasasti penanda kuburan. Nisan
merupakan dokumen sejarah. Selain mengabadikan identitas diri, makam
itu sekaligus menyimpan berbagai informasi historis tentang kondisi
masyarakat saat si empunya hidup.
Pemakaman umum bernama Kerkhof Laan, yang
sekarang menjadi Museum Taman Prasasti, berdiri pada 28 September 1795.
Pada 1808, Kerkhof Laan mulai kebanjiran batu nisan pindahan antara lain
dari Gereja Baru Belanda (Niuw Hollandsche Kerk) dan Gereja Sion. Tak
jauh dari gerbang museum, terdapat batu nisan abad ke-16 dan ke-17
berukuran 1 x 2,2 meter.
Lilie berhenti di depan salah satu batu nisan.
Jemarinya bergerak menelusuri ukiran simbol yang terpahat di sana.
Pesan-pesan dalam batu nisan tertulis dalam bentuk verbal (inskripsi)
dan nonverbal (ikonis).
Pada batu nisan nomor dua tertulis Tuan Pieter
Janse van Hoorn. Lilie menjelaskan, Tuan Pieter merupakan ayah Gubernur
Jenderal Joan Van Hoorn, tokoh di balik proses renovasi gedung kantor
Gubernur Jenderal VOC yang sekarang difungsikan sebagai Museum
Fatahillah atau Museum Jakarta. Batu nisan yang sama juga dipakai Tuan
Francois Tack, dikenal sebagai Kapten Tack, menantu Tuan Pieter. Kapten
Tack tewas saat mengejar Untung Suropati, rakyat jelata dan budak VOC
yang menjadi bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.
Tuan Pieter wafat pada 1682. Pada batu nisannya
terdapat simbol bintang segi enam yang melambangkan unsur api dan air.
”Bintang segi enam berarti keseimbangan,” kata Lilie.
Relief pada batu nisan merupakan ekspresi latar
belakang budaya komunitas pengguna pesan itu semasa hidup. Simbol juga
menunjukkan status dan kedudukan seseorang.
Nisan yang ada di Taman Prasasti kebanyakan terbuat dari granit. Batu itu berasal dari Bukit Nadu, India Selatan.
Untuk menyatakan seseorang adalah pejabat yang berkuasa, pada nisan disebutkan kepangkatannya, seperti gouveneur-generaal, directeur generaal, eerste raad, gouverneur, dan schepenen. Untuk menyatakan seseorang bukan pejabat resmi, melainkan mempunyai profesi tertentu disebutkan, misalnya, koopman (saudagar), opperkoopman (saudagar senior), onderkoopman (saudagar junior), protokolist (protokol kenegaraan), dan drost (hakim wilayah).
Untuk jabatan dalam militer disebutkan commandeur, capitien militair, overste, dan vaandrig.
Pada batu nisan nomor 10 tertulis nama Eewout
Verhagen. Semasa hidupnya dia adalah pengawas pembangunan gedung
pemerintahan dan gereja yang dalam bahasa Belanda abad ke-17 disebut fabryck. Dia merancang dan memimpin pembangunan Portugeesche Buitenkerk (Gereja Sion) sebelum diangkat sebagai anggota kerkfabryck (dewan gereja) pada 1688-1694. Sebagai pengawas, dia harus mencermati setiap pembangunan agar berkualitas bagus.
Salah satu jenis pekerjaan yang cukup bergengsi pada zaman Belanda adalah heemraden,
yakni pengawas tanggul dan perairan. Dia bertugas antara lain mengawasi
Sungai Ciliwung agar tetap bersih. Orang Belanda yang ketahuan membuang
limbah di sungai tidak pada waktu yang ditentukan akan dikenai denda.
”Sayangnya, zaman sekarang petugas perairan dianggap tidak penting.
Warga Jakarta kurang memperhatikan lingkungan,” tutur Lilie.
Lilie lalu masuk ke dalam gerbang Museum Taman
Prasasti. Dia berjalan di antara nisan, patung malaikat dan dewa-dewi,
serta pepohonan yang tumbuh rimbun. Dari 4.600 batu nisan yang ada di
Kerkhof Laan, yang tersisa kini berjumlah sekitar 1.500 buah.
Para tokoh sejarah yang makamnya masih ada di
Taman Prasasti, antara lain istri Gubernur Jenderal Inggris Thomas
Stamford Raffles, Olivia Mariamne Raffles (meninggal pada 1814); pendiri
sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche
Arsten/Sekolah Kedokteran Bumi Putra) Dr HF Roll (1867-1935); dan Soe
Hok Gie, aktivis yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan
Soeharto.
Bagi Lilie, tokoh-tokoh yang dimakamkan di
Museum Taman Prasasti memiliki peran membangun kota dan masyarakat
Indonesia. Para pemimpin Belanda, misalnya, merencanakan pembangunan
kota dengan menyusun rencana tata ruang wilayah. Contohnya pembangunan
kawasan Menteng dan Kebayoran Lama tergolong cukup baik karena
pemerintah waktu itu menata hunian, drainase, dan tempat pembuangan
sampah.
Selain itu, sejumlah tokoh Belanda juga
berperan menyatukan bangsa Indonesia, seperti Direktur STOVIA Dr HF
Roll. Dia membela mahasiswa STOVIA, di antaranya R Soetomo, yang
terancam dikeluarkan dari STOVIA karena mendirikan organisasi Boedi
Oetomo. Organisasi itu menjadi tonggak kebangkitan nasional. Dari
organisasi Boedi Oetomo, warga pribumi sadar akan makna nasionalisme dan
semangat perjuangan hingga akhirnya Indonesia merdeka.
Perjalanan sore itu berujung di depan dua peti
mati di bagian tengah Museum Taman Prasasti. Salah satu peti mati pernah
digunakan untuk membaringkan jasad Soekarno, presiden pertama RI. Peti
yang satu lagi disiapkan untuk Mohammad Hatta, wakil presiden pertama
RI. ”Bung Karno membenci penjajah, tetapi kenapa peti matinya ada di
antara batu nisan Belanda?” tanya salah seorang pengunjung.
”Ini menunjukkan, setiap manusia (pada akhir
hayatnya) harus berdamai dengan masa lalu. Penjajahan memang
meninggalkan luka, tetapi melalui Konferensi Meja Bundar, bangsa
Indonesia dan Belanda sepakat berdamai,” tutur Lilie.
Taman Prasasti merupakan salah satu taman
pemakaman umum resmi tertua di dunia. Pemakaman ini awalnya dibangun di
atas lahan 5,5 hektar. Karena perkembangan kota, luas museum ini
menyusut menjadi 1,3 hektar. Bulan depan, Museum Taman Prasasti memasuki
usia 220 tahun.
Secara terpisah, pengamat perkotaan Nirwono
Joga menuturkan, saatnya menciptakan acara-acara menarik untuk
menghidupkan museum ini.
(DENTY PIAWAI NASTITIE)
----
Tulisan ini dimuat di harian KOMPAS Sabtu, 29 Agustus 2015, halaman 26
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete