Peradilan Sesat: Mereka Rentan Jadi Korban Penegakan Hukum yang Tidak Profesional
15:25
Jakarta itu kejam. Itu yang tertanam dalam
benak Bagus Firdaus (19) alias Daus. ”Yang benar bisa jadi salah. Polisi
yang harusnya melindungi malah menganiaya,” kata eks pengamen yang
diduga menjadi korban salah tangkap, Jumat (14/8).
Anak keenam dari tujuh bersaudara itu
tersangkut kasus pembunuhan pengamen, Dicky Maulana (18), di kolong
Jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, Juni 2013. Saat itu, bersama
teman-teman sesama pengamen Cipulir, dia menemukan Dicky dalam kondisi
sekarat. ”Saya membelikan minuman. Setelah itu, saya tidur. Baru bangun
saat polisi datang,” kata Daus didampingi kakaknya, Erni Sugiarti (21)
dan Anisah (25).
Oleh polisi, Daus dibawa ke Markas Polda Metro
Jaya untuk dimintai keterangan. ”Saya dipukul dan disetrum. Polisi
menyuruh saya mengaku sudah membunuh Dicky,” kata Daus.
Keesokan harinya, dia diminta menandatangani
surat berita acara pemeriksaan. ”Saya tidak tahu apa isinya, hanya
diminta tanda tangan,” kata Daus. Setelah itu, dia dan lima rekannya,
yaitu AS (18), NP (23), F (13), APS (14), dan FP (16), ditahan. Surat
penahanan lalu dikirimkan kepada keluarga.
Namun, kemudian ada Iyan (18) yang mengaku
sebagai salah satu pembunuh Dicky. ”Saya yang bersalah dan sempat
terbayang-bayang (kejadian itu). Pengin ngaku, tapi masih takut. Ya, (saya) kabur meski tertangkap juga. Mereka (anak-anak) itu tidak bersalah,” kata Iyan. (Kompas, 18 November 2013).
Menurut Iyan, pembunuh Dicky ialah Khairudin
Hamzah alias Brengos, Jubaidi alias Jubai, dan dirinya. Pembunuhan
dilatarbelakangi keinginan menguasai sepeda motor korban. Selain itu,
pelaku juga kesal karena Dicky yang pengamen baru dianggap kurang sopan.
Namun, nasi sudah jadi bubur. Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis terhadap empat dari enam
terdakwa. Hakim memutuskan empat anak di bawah umur itu dipenjara 3-4
tahun.
Dua terdakwa lain yang sudah dewasa menghirup
udara bebas setelah setahun mendekam di penjara. Mereka dibebaskan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena belakangan dakwaan tak terbukti.
Pembunuh asli muncul di persidangan.
Kini, Daus berstatus bebas bersyarat. Tiga
rekannya masih ditahan di Rumah Tahanan Anak Tangerang. Tinggal di rumah
dan menjalani wajib lapor, penggemar komik Naruto ini berharap
permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya dikabulkan dan namanya
dipulihkan.
Kasus lain yang menonjol ialah Dedi (34),
tukang ojek yang dipenjara selama 10 bulan atas sangkaan pembunuhan
sopir angkot Mikrolet 06A bernama M Ronal di depan Pusat Grosir
Cililitan, Jakarta Timur, padahal bukan dia pembunuhnya.
Sudah 13 korban
Romy Leo Rinaldo, pengacara publik dari Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta, mencatat, dalam dua tahun setidaknya ada 13
korban salah tangkap yang ditangani LBH Jakarta. ”Tukang ojek, pengamen,
sopir angkot adalah kelompok rentan. Mereka buta hukum dan berasal dari
golongan kurang mampu sehingga tak memiliki akses terhadap perlindungan
ujar Romy.
Romy menjelaskan, ada banyak celah dalam
penegakan hukum. Dalam penyelidikan dan penyidikan, polisi bisa
menangkap tersangka tanpa surat perintah. Di kantor polisi, aparat
menekan seseorang untuk mengakui sesuatu yang tak pernah dia perbuat
tanpa ada pendampingan dan perlindungan hukum. Celah itu berlanjut ke
tingkat pemeriksaan berkas di kejaksaan dan proses di pengadilan.
”Kasus terjadi di Ibu Kota yang seharusnya pengawasan terhadap hukum sangat ketat,” kata Romy.
Pemeriksaan internal
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito
Karnavian mengatakan, terminologi polisi salah tangkap atau tidak itu
ada dalam praperadilan. Dipastikan polisi salah tangkap jika PN yang
memroses praperadilan menerima gugatan penggugat (orang yang ditangkap
polisi). Jika PN menolak, berarti polisi tidak salah tangkap.
”Dalam kasus pengeroyokan dengan korban
Rinaldo, praperadilan yang dimohon tersangka Dedi ditolak hakim. Ini
artinya polisi tidak salah tangkap dia,” kata Tito.
Dalam kasus pembunuhan Dicky, tersangka atau
terpidana Daus dapat melakukan PK. Tito memastikan, pihaknya akan
melakukan pemeriksaan internal jika kasus sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht)
dan isi putusan MA itu membatalkan putusan PN dan menyatakan para
terdakwa tidak bersalah. Artinya, telah terjadi peradilan sesat atas
para terdakwa tersebut.
”Kalau terjadi peradilan sesat, tidak bisa
semua kesalahan dilimpahkan ke polisi. Sebab, ada tiga instansi yang
terlibat dan bertanggung jawab, yaitu polisi di tingkat penyidikan,
jaksa di tingkat penuntutan, dan hakim di tingkat peradilan/penghukuman.
Prinsipnya, kalau putusan sudah inkracht dan terjadi peradilan sesat, baru ada pemeriksaan internal terhadap penyidik,” katanya.
Peradilan sesat, kata Tito, bisa saja terjadi,
misalnya karena penyidik polisi, jaksa penuntut, atau hakim tidak
profesional dalam bertugas.
(Denty Piawai Nastitie/Ratih Prahesti S/B01)
-----
Tulisan ini dimuat harian KOMPAS, Selasa, 25 Agustus 2015, halaman 25
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete