Menelusuri Via Dolorosa (3): Akhir Perjalanan
06:00
Inilah tempat yang dituju. Puncak peziarahan. Rumah yang didambakan jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia. Berdiri di tempat ini, saya merasa kembali. Pulang. Meskipun saya baru pertama kali menginjakan kaki.
Setelah melalui perjalanan panjang menelusuri Jalan Penderitaan atau Via Dolorosa, saya berdiri, mematung, di depang pintu Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Pintu itu setinggi tiga meter. Begitu besar, megah, dan kokoh. Di depan pintu ratusan
orang berdesak-desakkan masuk ke dalam gereja. “Pastikan kita berjalan dalam
satu rombongan. Jangan terpisah!” tutur Joppy Taroreh, pemimpin rombongan, sambil
mengibar-ngibarkan bendera biru, penanda kelompok kami.
"Jam berapa pintu ditutup?" tanya saya.
"Pukul 18.00," jawab Pak Joppy.
Saya melirik alroji, jarum jam menunjukan pukul 17.55. "Wew! 5 menit lagi pintu gereja ditutup!" seru saya dalam hati.
Dengan
sabar, tenang, saya berusaha mengikuti alur manusia yang masuk ke dalam
gereja. Senja membuat ruangan di dalam gereja redup, hampir tanpa
cahaya. Begitu berada di dalam basilica
Gereja Makam Kudus, saya melihat cahaya remang-remang berwarna kuning
kemerahan dari lilin-lilin yang menyala. Lilin itu dipegang biawaran
ortodoks yang sedang misa. Rombongan peziarah diminta hening, berjalan
di belakang iring-iringan biarawan yang sedang beribadat.
Di Gereja Makam Kudus, ada batu merah muda yang diletakkan terbaring di
atas lantai. Batu itu dipercaya sebagai lokasi pengurapan jenazah Yesus yang
dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus. Secara bergantian, ratusan
peziarah berjongkok dan memeluk batu.
Setelah melewati batu
pengurapan Yesus, saya berjalan melewati dua tiang besar, lalu masuk ke bagian
yang dinamakan Anastasis, tempat Yesus dimakamkan. Di depan tempat itu, ratusan orang
berbaris. Setelah mengantre selama 15 menit, seorang biarawan menemani saya
masuk ke dalam Anastasis. Tempat
Yesus dimakamkan begitu gelap…. begitu sunyi… Inilah akhir perjalanan di Via
Dolorosa.
Awalnya, ziarah di
Yerusalem awalnya adalah mimpi dan cita-cita orang tua saya. Tahun lalu, orang tua
saya batal berangkat ke Yerusalem karena ayah sakit. Suatu hari, di Gereja
Santo Antonius Padua, Jakarta Timur, saya menyampaikan keinginan menemani orang
tua ke Yerusalem. Tuhan menjawab doa itu dengan memberi berbagai kemudahan
hingga kami bisa menapakkan kaki di Tanah Suci.
Setelah merampungkan peziarahan di Bukit Golgota, Walid (50), pemandu wisata asal Palestina,
mengajak saya berjalan selama lima menit ke Tembok Barat, tempat orang-orang Yahudi berdoa. Seringnya konflik
antar kelompok masyarakat, membuat tentara Israel selalu berjaga-jaga. Mereka
memeriksa barang bawaan peziarah dengan menggunakan metal detector.
Di balik Tembok Barat terlihat kubah emas Dome of The Rock,
dalam bahasa Arab disebut Masjid Qubbat As-Sakhrah, atau Kipat Hassela dalam
bahasa Ibrani. Dome of The Rock terletak bersebelahan dengan Masjid Al-Aqsa,
masjid terpenting ketiga bagi umat Islam.
Hari itu haru Sabbath,
hari penting bagi bangsa Yahudi. Sabbath
dimulai dari Jumat malam hingga Sabtu malam. Sepanjang hari orang-orang Yahudi
tidak diizinkan beraktivitas, selain berdoa. Saya melihat puluhan orang Yahudi berdoa, meratap, di depan Tembok Barat. Belasan gulungan kertas berisi doa-doa terselip di celah-celah batu. Keesokan harinya, hari Minggu,
umat Kristen berdoa di gereja. Pada hari Jumat, giliran orang-orang Islam yang
sembayang ke masjid.
Hidup dalam keberagaman di Tanah Terjanji
bukan berarti tanpa masalah. Suatu
hari, saat melewati tembok perbatasan Israel - Palestina, bus saya
ditimpuk
orang asing karena dianggap pendukung Zionist. Di lain sisi, ada pula
orang-orang yang memperjuangkan kehidupan damai. Saat natal, misalnya,
puluhan
anak-anak dari keluarga muslim Palestina memakai baju Santa Clause dan
mengunjungi
Gereja Kelahiran di Betlehem. Bukankah hidup memang seperti sekeping
uang logam, ada sisi baik dan sisi buruk. Ada harapan, juga ratapan,
tangis, luka, dan nestapa.
Pukul 19.00, ziarah di Via Dolorosa selesai. Rauf (55),
pengemudi bus, menjemput kami di halaman tembok ratapan. Rauf adalah orang muslim Palestina. Dia memiliki restauran yang terkenal di kalangan Yahudi.
Pria itu juga hafal lagu-lagu Kristen. Dalam perjalanan, Rauf sering menyanyi
lagu-lagu sekolah Minggu, seperti “Hari ini harinya Tuhan” atau “Aku bahagia". Selain ramah dan lucu, Rauf selalu membagikan aura gembira. Bersama Rauf, perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci di Yerusalem tak pernah terasa membosankan.
“Bagaimana kamu bisa hidup di daerah dengan beragam latar
belakang?” tanya saya, suatu hari.
Rauf tersenyum. Dia memandang saya selama beberap saat, lalu menjawab: “Saat berinteraksi dengan orang lain, saya
tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usul-mu, yang penting adalah “kamu”.
Manusia.” kata Rauf, tenang.
.... selesai.
Kisah sebelumnya: Kisah sebelumnya: Menelusuri Via Dolorosa (1): Inikah Jalan Sengsara itu?
Menelusuri Via Dolorosa (2): Keberagaman di Tanah Terjanji
Menelusuri Via Dolorosa (2): Keberagaman di Tanah Terjanji
(Denty Piawai Nastitie)
Terima kasih untung "gambaran" nya tentang Tanah Suci .. Saya menbaca dari awal smapai akhir. Semoga suatu hari Tuhan memberi kesempatan dan kemudahan untuk bisa berkunjung ke sana bersama keluarga kecil saya. To be honest.. Artikel ini membawa rasa haru tersendiri buat saya.. Mungkin jika suatu hari.saya menapakan kaki di sana hal pertama yg bisa saya lakukan adalah menangis bahagia.. Tuhan berkati Denty.. Selamat hari Paskah..
ReplyDeleteselamat hari paskah juga mbak..... terimakasih sudah membaca, semoga cita-citanya segera tercapai.... amiiin :)
Delete